sumber: http://suciwuland.blogspot.com
Mahasiswa adalah agent of change, social control dan iron stock. Itulah kata-kata yang
sering kali diucapkan “kakak-kakak” di kampus kepada mahasiswa baru pada saat
masa orientasi atau yang biasa kita kenal dengan istilah ospek. Ungkapan tersebut memang tidak salah karena
di negeri ini beberapa peristiwa bersejarah berawal dari gerakan mahasiswa di
Indonesia. Sebut saja peristiwa seperti kelahiran Budi Utomo, Sumpah Pemuda,
Peristiwa Malari, dan Reformasi 1998 tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan
mahasiswa.
Saking besarnya pengaruh
gerakan mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan, pemerintah orde baru melalui
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) mencoba untuk
mematikan daya kritis mahasiswa. Kebijakan NKK/BKK berlaku resmi setelah
Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus yang menyebabkan aktivitas politik tidak boleh
dilakukan di dalam kampus. Puncaknya ialah pada reformasi 1998 ketika jutaan
mahasiswa tumpah ke jalanan ibu kota dan menduduki gedung MPR yang “berhasil”
membuat rezim orde baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang.
Kini setelah 21 tahun
reformasi, gerakan mahasiswa seolah seperti sedang tertidur. Dibukanya keran
demokrasi dan kebebasan berpendapat tidak lantas membuat mahasiswa saat ini
“seganas” para penerusnya. Bahkan banyak sindiran yang ditujukan kepada
mahasiswa saat ini. Ungkapan seperti “mahasiswa sekarang beda dengan yang
dulu”, “mahasiswa sekarang sudah tidak peduli rakyat”, “mahasiswa sekarang
sibuk kuliah”, bahkan yang terbaru yakni “mahasiswa sekarang sibuk main PUBG”
sering kali terdengar oleh mahasiswa baik dilontarkan oleh sesama mahasiswa,
dosen, atau masyarakat.
Ungkapan-ungkapan
tersebut pun tidak ada salahnya. Gerakan mahasiswa saat ini seolah sedang
“tertidur”. Namun kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada mahasiswa.
Faktor-faktor internal maupun eksternal harus ditelaah lebih dalam sebab
terkait fenomena “tidurnya mahasiswa” tidak jarang malah menghakimi mahasiswa
dan menyalahkan mahasiswa terkait kondisi negara yang tidak stabil saat ini.
Dari segi faktor
internal, tak jarang bahkan hampir semua mahasiswa berkeinginan untuk memiliki
kehidupan yang lebih baik setelah lulus. Jarang ditemui orang yang ketika
berada dibangku SMA atau sederajat memiliki keinginan untuk ikut terlibat dalam
gerakan mahasiswa. Hampir sebagian besar mereka melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, terutama dari segi
intelektual dan finansial. Bahkan bagi sebagian mahasiswa yang sudah terjun ke
dalam gerakan mahasiswa, ketika berada di tingkat/semester akhir mereka harus
realistis untuk memikirkan kehidupan selanjutnya.
Sebagai seorang anak,
mahasiswa juga memiliki kenginan untuk membanggakan orang tuanya, baik yang
masih ada maupun yang sudah tidak ada. Caranya dengan berprestasi, baik dari
segi akademik maupun nonakademik yakni dengan cara memenangkan perlombaan,
mendapatkan IPK yang dianggap bagus orang tua, atau menjadi fungsionaris
organisasi kemahasiswaan. Hal tersebut membuat mahasiswa mengesampingkan
keterlibatannya dalam gerakan mahasiswa.
Faktor internal terakhir
yang dirasa paling berpengaruh terhadap tertidurnya gerakan mahasiswa yakni
mahasiswa merasa bahwa kehidupan saat ini jauh lebih baik dibandingkan zaman
dahulu, khususnya sebelum reformasi. Mahasiswa saat ini bisa hidup lebih bebas,
baik berkumpul, berpendapat, bahkan menggunakan sosial media tanpa tekanan yang
didapat mahasiswa pada zaman dulu. Mau tidak mau hal tersebut menimbulkan
dampak negatif yakni membuat mahasiswa semakin “terlena” dengan kebebasan yang
ada saat ini.
Selain faktor internal
atau dari dalam mahasiswa itu sendiri, terdapat pula faktor eksternal atau di
luar mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang sedang tertidur saat ini tidak bisa
dilepaskan dari para aktivis pendahulu yang saat ini banyak yang sudah tak
seidealis dahulu, bahkan kehilangan idealismenya. Para aktivis yang dulu
merupakan mahasiswa yang berjuang bersama rakyat kini bertransformasi menjadi
segelintir elit yang sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Tak jarang hal
tersebut membuat banyak mahasiswa yang nyir-nyir
terhadap sesama mahasiswa yang terlibat ke dalam gerakan mahasiswa. Ungkapan
seperti “proletar sampai kaya” atau “mahasiswa proletar, sudah lulus borjuis”
kerap kali di-nyirnyir-kan kepada mahasiswa
yang terlibat gerakan mahasiswa.
Kondisi tersebut didukung
oleh sistem pendidikan tinggi saat ini yang menuntut mahasiswa agar bisa lulus
cepat. Alasannya klasik, yakni meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Ditambah dengan sistem akreditas yang membuat kampus berlomba-lomba mendorong
mahasiswa-mahasiswanya yang sudah terlalu lama menghuni kampus. Kampus tidak
lagi berupaya untuk mengaplikasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun kampus
asyik berlomba memperoleh akreditas yang baik, sekadar memenuhi hasrat menjadi
kampus unggulan. Singkatnya masa studi yang saat ini kurang lebih 4 tahun
membuat kurikulum tiap semesternya padat. Akibatnya mahasiswa tidak memiliki
waktu yang banyak di luar menjalankan kewajiban akademiknya. Belum lagi tugas
dan praktikum yang juga cukup menyita waktu. Sehingga mahasiswa tidak memiliki
waktu untuk terlibat gerakan mahasiswa kecuali mereka yang mau mengorbankan
“waktu lulus dan prestasi akademik”. Rasanya tidak banyak mahasiswa yang siap
akan hal tersebut.
Berbicara mengenai
kuliah, rasanya tidak bisa dilepaskan dari biaya pendidikan. Biaya kuliah yang
tidak sedikit memotivasi mahasiswa untuk segera lulus dengan harapan tidak
ingin membebankan orang tua. Tidak ada salahnya memang. Meskipun di beberapa
perguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi Negeri menerapkan sistem Uang
Kuliah Tunggal (UKT) dengan kategori berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua
mahasiswa, namun dibutuhkan juga biaya lain untuk mendukung perkuliahan, sepert
biaya sewa kost, makan, operasional, belum lagi generasi milenial saat ini yang
tidak bisa dilepaskan dari yang namanya gadget,
membuat kebutuhan akan quota internet harus selalu terpenuhi. Belum lagi bagi
mahasiswa yang aktif di kampus tak jarang harus merogoh kocek lebih dalam yang
merupakan resiko pribadi atas terlibatnya di kegiatan kampus.
Telah disebutkan di atas
bahwa setiap mahasiswa tentu ingin membanggakan orang tuanya. Bagi mereka yang
terlibat ke dalam gerakan mahasiswa, meskipun jika melihat dari sejarah bahwa
gerakan mahasiswa berdampak besar terhadap bangsa, namun rasanya jarang sekali
orang tua, saudara, atau tetangga yang bangga terhadap mahasiswa yang aktif di
gerakan mahasiswa. Terlebih jika gerakan tersebut cenderung mengorbankan waktu
kelulusan dan prestasi akademik. Kebanyakan malah nyir-nyiran, hujatan, dan omongan tak sedap yang didapatkan.
Meskipun sudah mengorbankan waktu kelulusan dan prestasi akademik, mereka juga
mendapat stigma negatif sebagai mahasiswa yang tidak serius untuk kuliah.
Kondisi zaman dulu dengan
sekarang pun berbeda. Zaman dulu mahasiswa dipersatukan oleh musuh bersama
yakni ketidakadilan. Namun kini, musuh bersama tersebut seolah tidak terlihat
atau bahkan tidak ada. Belum lagi dunia kampus yang diwarnai oleh politik organisasi
ekstra kampus yang membuat mahasiswa terkotak-kotak berdasarkan ideologi dan
organisasinya. Hal tersebut mahasiswa lebih fokus untuk memperoleh kedudukan
strategis di organisasi intra kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Badan
Perwakilan Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa, dan lain sebagainya. Mahasiswa
mengganggap kelompok mahasiswa lain sebagai saingan di kampus, bukan sebagai
mitra melawan ketidakadilan.
Di tengah carut-marut
kondisi bangsa dan keraguan terhadap mahasiswa, kini gerakan mahasiswa perlahan
mulai bangun. Gerakan mahasiswa yang tertidur sejak bergulirnya reformasu 1998,
kini menampakkan tanda-tanda bahwa akan kembali bangkit. Pelemahan terhadap KPK
melalui RUU KPK dan RKUHP yang memuat banyak sekali pasal yang dianggap
kontroversial membuat mahasiswa turun ke jalan baik di ibu kota maupun di daerah
lainnya. Musuh bersama tersebut akhirnya muncul ke permukaan yang tidak lain
dan tidak bukan adalah pemerintah dan DPR.
Hal tersebut menjadi
jawaban terkait tertidurnya gerakan mahasiswa. Tidak dibenarkan bahwa mahasiswa
saat ini tidak peduli dengan rakyat, berbeda dengan mahasiswa dulu atau terlalu
sibuk main PUBG. Karena pada akhirnya mahasiswa akan turun ke jalan jika kondisi
bangsa sedang darurat dan jika mahasiswa sudah turun ke jalan, maka kondisi
bangsa sedang darurat. Semoga kondisi bangsa yang darurat tersebut tidak
berlangsung lama dan semoga kejadian seperti di tahun 1998 tidak terjadi
kembali.
Jadi pada intinya, kapan mahasiswa
bangun? Mahasiswa akan bangun jika kondisi bangsa sedang darurat dan mahasiswa
memiliki musuh bersama.
|