source : toko-bukubekas.blogspot.com |
Identitas Buku
Judul : Mendobrak Sentralisme Ekonomi
Indonesia 1986-1992
Penulis : Rizal Mallarangeng
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Maret 2002
Cetakan Kedua, Agustus 2005
Tebal
Halaman : xxxviii + 268 halaman
Ukuran Buku : 14 cm x 21 cm
ISBN : 979-9023-71-8
Buku yang ditulis oleh Rizal
Mallarangeng ini merupakan disertasinya di Ohio State University, Amerika
Serikat, yang kemudian terbit menjadi buku. Buku yang saya baca merupakan
cetakan kedua, yang terbit pada Agustus 2004. Buku ini memusatkan perhatian pada
proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Dimulai dengan jatuhnya rezim
Presiden Soekarno yang sangat anti-kapitalis. Dilanjutkan dengan masa awal
pemerintahan orde baru yaitu saat liberalisasi ekonomi sudah dimulai namun
masih banyak ditentang oleh kaum proteksionis. Kemudian liberalisasi ekonomi mencapai
puncaknya pada tahun 1986-1992. Dalam buku ini, liberalisasi ekonomi didefinisikan sebagai perubahan kebijakan dari
kebijakan sentralis menjadi kebijakan yang propasar. Dalam
perjalanannya sering kali terjadi gejolak antara kaum
proteksionis yang mendukung intervensi pemerintah dalam perekonomian nasional
dan kaum propasar yang mendukung mekanisme pasar dan peran pihak swasta yang lebih besar dalam perekonomian nasional.
Pembahasan awal buku ini menguraikan bagaimana pentingnya
gagasan dan peran pelaku untuk mempengatuhi arah kebijakan ekonomi. Di sini
juga dijelaskan melalui beberapa tinjauan tentang alasan Pemerintah Presiden
Soeharto mengubah kebijakan ekonominya dari sentralisme ke liberalisme. Namun bagi
saya bab I ini kurang menarik karena banyak sekali teori yang dipaparkan.
Buku ini juga menganalisis kebijakan ekonomi rezim orde
baru sebelum proses liberalisasi ekonomi atau dengan kata lain pada saat pemerintah
masih mewarisi sistem ekonomi orde lama yang sangat proteksionis. Menurut
penulis, salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa orde
lama dikarenakan pemerintah yang sangat mengintervensi perekonomian nasional
dan sangat membatasi peran pihak swasta, baik domestik maupun internasional
sehingga mekanisme pasar tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu,
kebijakan yang dikeluarkan pada masa orde lama lebih banyak yang berdasarkan
pertimbangan politis, bukan rasionalitas ekonomi. Misalnya, ada anggapan dari pemerintah
bahwa modal asing merupakan ujung tombaknya kapitalisme dan imperialisme. Menurut
saya, bagaimanapun juga sebuah negara yang baru merdeka akan membutuhkan
bantuan dari negara lain, terutama dalam hal pendanaan dan finansial.
Pembangunan negara yang baru merdeka tidak mungkin dapat dilakukan tanpa
bantuan pihak asing karena negara tersebut masih dalam keadaan kekosongan kas. Di
dalam buku ini juga dijelaskan alasan Pemerintah Presiden Soekarno yang sangat
menolak kapitalisme. Hal ini disebabkan tokoh-tokoh pendiri bangsa pada saat
itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran kiri, seperti Soekarno, Sutan Sjahrir dan
Tan Malaka. Bahkan tokoh yang terdidik secara profesional dalam ilmu ekonomi
tidak bisa terlepas dari pemikiran kiri, seperti Hatta, Sumitro Djojohadikusumo
dan Sjafruddin Prawiranegara.
Selanjutnya buku ini menjelaskan awal mula liberalisasi
ekonomi di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya ekonom muda pada akhir
pemerintahan Presiden Soekarno yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro yang
memiliki gagasan berbeda dengan ekonom generasi sebelumnya. Hal tersebut karena
ekonom generasi Widjojo kebanyakan merupakan lulusan universitas luar negeri. Universitas
tersebut berada di negara yang merupakan negara penganut kapitalisme. Sebagian
besar dari mereka merupakan lulusan University of California, Berkeley, yang
membuat mereka mendapat julukan The Berkeley
Mafia. Kelompok Widjojo ini kemudian disebut sebagai kaum teknokrat, mereka
mendapatkan tempat strategis di Pemerintahan Presiden Soeharto dalam menentukan
arah kebijakan ekonomi. Dampaknya, pada awal Pemerintahan Presiden Soeharto
kebijakan ekonomi Indonesia perlahan mulai meninggalkan sentralisme. Hal
tersebut diawali dengan pemerintah yang mengirimkan pesan kepada IMF bahwa
Indonesia ingin memperbarui keanggotaannya.
Namun liberalisasi ekonomi tentunya tidak selalu memiliki
dampak positif. Jurang pemisah antara daerah pedesaan dan perkotaan semakin
melebar. Kebijakan yang ada malah lebih menguntungkan pengusaha non pribumi,
terutama etnis keturunan Tionghoa. Hal tersebut membuat para mahasiswa
mengkritik Pemerintah Presiden Soeharto. Berbagai program pemerintah dianggap
sebagai sumber korupsi dan membuat Indonesia semakin berada di bawah kendali
modal Internasional. Puncaknya adalah demonstrasi mahasiswa yang terjadi dua
hari setelah kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia yang berujung pada
peristiwa Malari, Malapetaka 15 Januari. Peristiwa tersebut menjadi alasan
Presiden Soeharto mengubah kebijakan perekonomian Indonesia yang semula liberalisme
kembali menuju sentralisme. Faktor lain yang menyebabkan perubahan kebijakan
dari liberalisme ke sentralisme adalah bonanza minyak. Sebagai salah satu
negara pengekspor minyak, Indonesia mendapatkan berkah berupa pemasukan yang berlimpah dari
kenaikan harga minyak.
Bonanza minyak membuat pemerintah dalam kondisi yang baik
untuk menjalankan kebijakan sentralisnya, karena dengan naiknya harga minyak
membuat pemerintah memiliki pemasukan yang sangat banyak dari ekspor minyak.
Namun, harga minyak yang tinggi tidak bertahan selamanya. Pada awal tahun
1980-an harga minyak mulai jatuh dan pemerintah mengalami kesulitan dalam menjalankan
berbagai programnya yang sangat bergantung kepada dana yang didapatkan dari
ekspor minyak. Hal tersebut membuka peluang kepada para teknokrat untuk
memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan ekonomi Indonesia.
Pada bab III dan IV menguraikan peran teknokrat dan
komunitas epistemis liberal dalam meyakinkan pemerintah maupun masyarakat bahwa
untuk mengatasi kesulitan tersebut langkah yang harus dilakukan pemerintah
adalah deregulasi atau liberalisasi ekonomi. Komunitas epistemis liberal
menjadi mitra yang efektif para teknokrat dalam meyakinkan masyarakat tentang
pentingnya liberalisasi ekonomi. Bekerja samanya kedua kelompok ini kemudian
membuat mereka disebut sebagai koalisi liberal. Jatuhnya harga minyak menjadi
momentum yang baik bagi koalisi liberal untuk melakukan reorientasi kebijakan
orde baru.
Selain keadaan ekonomi Indonesia, buku ini juga menggambarkan
situasi politik pada awal tahun 1980-an yaitu pada bab III. Tepatnya setelah
peristiwa Malari, pemerintah menjadi lebih otoriter. Peristiwa Malari membuat
Presiden Soeharto semakin waspada terhadap segala ancaman yang dapat
membahayakan rezimnya. Sehingga pemerintah lebih bersifat represif terhadap
segala ancaman.
Komunitas epistemis liberal memiliki peran dalam
menentang kebijakan warisan zaman terdahulu, memperdebatkan sentralisme dan
menjelaskan kepada masyarakat. Walaupun komunitas epistemis liberal tidak
berada di dalam pemerintahan, namun komunitas epistemis liberal lebih populer
dan sering tampil di depan umum dibandingkan kaum teknokrat. Hal tersebut
dikarenakan kaum teknokrat pada zaman orde baru merupakan bagian dari
pemerintahan sehingga mereka harus bekerja di bawah bayang-bayang Presiden
Soeharto. Mereka tidak bisa secara langsung berargumentasi atau mempertahankan
pendapatnya tentang kebijakan-kebijakan baru. Apabila mereka terlalu sering
tampil di depan umum maka Presiden Soeharto akan mempersulit usaha mereka dalam
mengubah kebijakan ekonomi.
Pada bab IV buku ini, menguraikan beberapa hasil
wawancara dengan berbagai tokoh epistemis liberal dalam bidang ekonomi, seperti,
Goenawan Mohamad, Sjahrir, Jakob Oetama, dan Sadli. Kemudian bab ini juga
menjelaskan Sumitro Djojohadikusumo yang semula mendukung sentralisme, namun
setelah berbagai kegagalan sentralisme dan negara mengalami kesulitan akibat
jatuhnya harga minyak, Sumitro berbalik mendukung liberalisme ekonomi. Sumitro
juga pada masa itu menjadi pembicara kunci yang kata-katanya menjadi judul
berita utama di hampir semua koran yang terbit keesokan harinya. Kelompok epistemis
liberal yang pada saat itu merupakan ekonom, intelektual, penulis dan wartawan,
bukan orang pemerintahan yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan, justru
yang memiliki peran penting dalam mengusulkan berbagai solusi baru terhadap
masalah yang ada.
Berdasarkan buku ini, walaupun kebijakan pemerintah
Presiden Soeharto pada awal kepemimpinanya menerapkan kebijakan yang bersifat
sentralisme, namun keuntungan dari kebijakan tersebut hanya dapat dirasakan
oleh perusahaan negara dan pengusaha-pengusaha yang memiliki kedekatan dengan
Presiden. Bahkan ada perusahaan yang diberikan izin tunggal untuk mengimport
barang. Namun, pada akhirnya pemerintah mulai sadar bahwa sudah saatnya
liberalisasi ekonomi Indonesia harus dilakukan. Titik awal tersebut terjadi
saat swastanisasi bea-cukai. Setelah itu liberalisasi ekonomi diterapkan di
berbagai sektor. Dampaknya adalah pertumbuhan pesat ekspor nonmigas dan tingkat
pertumbuhan ekonomi meningkat. Akhirnya banyak kalangan di masyarakat yang
menyadari bahwa liberalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang menindas rakyat dan
tidak seperti yang digambarkan pada masa orde lama.
Setelah liberalisasi ekonomi mencapai puncaknya pada
tahun 1989, proses liberalisasi ekonomi mulai melemah. Hal ini dikarenakan liberalisasi
ekonomi dianggap telah melahirkan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si
miskin. Diperparah dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang miskin. Liberalisasi
ekonomi juga telah melahirkan konglomerat-konglomerat baru, terutama etnis
keturunan Tionghoa. Konglomerat baru ini dianggap mempersempit peluang usaha
kecil untuk berkembang. Selain itu, bisnis keluarga Presiden Soeharto dan
orang-orang terdekatnya berkembang semakin pesat. Melemahnya liberalisasi
ekonomi semakin diperparah dengan berkurangnya
subsidi BBM dan penjualan beberapa
perusahaan negara kepada swasta. Sehingga banyak kritik yang dilontarkan kepada
kaum teknokrat dan komunitas epistemis liberal yang dilakukan oleh
lawan-lawannya. Pada saat tersebut koalisi liberal tidak dapat tampil dengan
argumentasi yang meyakinkan dan masuk akal seperti periode sebelumnya.
Banyaknya kritik tersebut, membuat Presiden Soeharto
mengambil langkah sendiri dalam menentukan kebijakan ekonominya, tanpa
berkonsultasi dengan para teknokrat maupun para menterinya. Hal tersebut
membuat semakin terbukanya peluang bagi lawan-lawan kaum teknokrat dalam proses
penyusunan kebijakan ekonomi. Pada akhir buku ini diuraikan, meskipun sudah 25
tahun Presiden Soeharto berkuasa, namun masih memiliki ambisi yang sangat besar
untuk terus berkuasa. Bahkan tidak segan untuk meninggalkan orang yang telah
membantunya, termasuk teknokratnya sendiri demi mencapai tujuannya.
Kelebihan Buku
Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992
Buku ini menarik bagi saya
karena tidak terlalu banyak teori dan memberikan gambaran keadaan ekonomi yang
cukup jelas pada masa akhir orde lama dan pada masa orde baru disertai dengan
data-data yang membuat buku ini semakin menarik. Dalam buku ini banyak istilah
ekonomi yang jarang muncul, terutama istilah ekonomi dalam bahasa asing
sehingga mendorong saya untuk mencari tahu makna istilah-istilah tersebut.
Dengan membaca buku ini saya dapat memahami makna liberalisasi ekonomi yang
jauh dari kesan penindasan terhadap kaum proletar. Prakata dan Kata Pengantar buku ini sangat
baik sehingga hanya dengan membacanya, saya mendapatkan gambaran yang cukup
jelas tentang isi buku ini.
Kekurangan Buku Mendobrak
Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992
Isi dari buku ini banyak mengkritik kebijakan ekonomi pada masa orde lama.
Sehingga apabila orang awam membaca buku ini akan menimbulkan kesan yang
negatif terhadap perekonomian pada masa orde lama. Komposisi antara kelebihan
dan kekurangan liberalisasi ekonomi tidak seimbang. Muatannya lebih banyak mengandung
kelebihan liberalisasi ekonomi.
Penutup
Liberalisasi ekonomi merupakan proses perubahan kebijakan dari kebijakan
yang mendukung intervensi pemerintah terhadap perekonomian nasional menjadi
kebijakan yang mendukung mekanisme pasar dan peran swasta dalam mengelola
perekonomian nasional. Dalam proses liberalisasi ekonomi di Indonesia tidak
selalu berjalan dengan lancar. Beberapa pihak banyak yang menentang kebijakan
liberalisasi ekonomi Indonesia. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian dunia dan keadaan politik di dalam negeri.
0 komentar: