Jumat, 11 Maret 2016

Review Buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992

source : toko-bukubekas.blogspot.com

Identitas Buku
Judul               : Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992
Penulis             : Rizal Mallarangeng
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit    : Cetakan Pertama, Maret 2002
                          Cetakan Kedua, Agustus 2005
Tebal Halaman : xxxviii + 268 halaman
Ukuran Buku  : 14 cm x 21 cm
ISBN               : 979-9023-71-8


         Buku yang ditulis oleh Rizal Mallarangeng ini merupakan disertasinya di Ohio State University, Amerika Serikat, yang kemudian terbit menjadi buku. Buku yang saya baca merupakan cetakan kedua, yang terbit pada Agustus 2004. Buku  ini memusatkan perhatian pada proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Dimulai dengan jatuhnya rezim Presiden Soekarno yang sangat anti-kapitalis. Dilanjutkan dengan masa awal pemerintahan orde baru yaitu saat liberalisasi ekonomi sudah dimulai namun masih banyak ditentang oleh kaum proteksionis. Kemudian liberalisasi ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1986-1992. Dalam buku ini, liberalisasi ekonomi didefinisikan sebagai perubahan kebijakan dari kebijakan sentralis menjadi kebijakan yang propasar. Dalam perjalanannya sering kali terjadi gejolak antara kaum proteksionis yang mendukung intervensi pemerintah dalam perekonomian nasional dan kaum propasar yang mendukung mekanisme pasar dan peran pihak swasta yang lebih besar dalam perekonomian nasional.
Pembahasan awal buku ini menguraikan bagaimana pentingnya gagasan dan peran pelaku untuk mempengatuhi arah kebijakan ekonomi. Di sini juga dijelaskan melalui beberapa tinjauan tentang alasan Pemerintah Presiden Soeharto mengubah kebijakan ekonominya dari sentralisme ke liberalisme. Namun bagi saya bab I ini kurang menarik karena banyak sekali teori yang dipaparkan.
Buku ini juga menganalisis kebijakan ekonomi rezim orde baru sebelum proses liberalisasi ekonomi atau dengan kata lain pada saat pemerintah masih mewarisi sistem ekonomi orde lama yang sangat proteksionis. Menurut penulis, salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa orde lama dikarenakan pemerintah yang sangat mengintervensi perekonomian nasional dan sangat membatasi peran pihak swasta, baik domestik maupun internasional sehingga mekanisme pasar tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan pada masa orde lama lebih banyak yang berdasarkan pertimbangan politis, bukan rasionalitas ekonomi. Misalnya, ada anggapan dari pemerintah bahwa modal asing merupakan ujung tombaknya kapitalisme dan imperialisme. Menurut saya, bagaimanapun juga sebuah negara yang baru merdeka akan membutuhkan bantuan dari negara lain, terutama dalam hal pendanaan dan finansial. Pembangunan negara yang baru merdeka tidak mungkin dapat dilakukan tanpa bantuan pihak asing karena negara tersebut masih dalam keadaan kekosongan kas. Di dalam buku ini juga dijelaskan alasan Pemerintah Presiden Soekarno yang sangat menolak kapitalisme. Hal ini disebabkan tokoh-tokoh pendiri bangsa pada saat itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran kiri, seperti Soekarno, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Bahkan tokoh yang terdidik secara profesional dalam ilmu ekonomi tidak bisa terlepas dari pemikiran kiri, seperti Hatta, Sumitro Djojohadikusumo dan Sjafruddin Prawiranegara.
Selanjutnya buku ini menjelaskan awal mula liberalisasi ekonomi di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya ekonom muda pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro yang memiliki gagasan berbeda dengan ekonom generasi sebelumnya. Hal tersebut karena ekonom generasi Widjojo kebanyakan merupakan lulusan universitas luar negeri. Universitas tersebut berada di negara yang merupakan negara penganut kapitalisme. Sebagian besar dari mereka merupakan lulusan University of California, Berkeley, yang membuat mereka mendapat julukan The Berkeley Mafia. Kelompok Widjojo ini kemudian disebut sebagai kaum teknokrat, mereka mendapatkan tempat strategis di Pemerintahan Presiden Soeharto dalam menentukan arah kebijakan ekonomi. Dampaknya, pada awal Pemerintahan Presiden Soeharto kebijakan ekonomi Indonesia perlahan mulai meninggalkan sentralisme. Hal tersebut diawali dengan pemerintah yang mengirimkan pesan kepada IMF bahwa Indonesia ingin memperbarui keanggotaannya.
Namun liberalisasi ekonomi tentunya tidak selalu memiliki dampak positif. Jurang pemisah antara daerah pedesaan dan perkotaan semakin melebar. Kebijakan yang ada malah lebih menguntungkan pengusaha non pribumi, terutama etnis keturunan Tionghoa. Hal tersebut membuat para mahasiswa mengkritik Pemerintah Presiden Soeharto. Berbagai program pemerintah dianggap sebagai sumber korupsi dan membuat Indonesia semakin berada di bawah kendali modal Internasional. Puncaknya adalah demonstrasi mahasiswa yang terjadi dua hari setelah kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia yang berujung pada peristiwa Malari, Malapetaka 15 Januari. Peristiwa tersebut menjadi alasan Presiden Soeharto mengubah kebijakan perekonomian Indonesia yang semula liberalisme kembali menuju sentralisme. Faktor lain yang menyebabkan perubahan kebijakan dari liberalisme ke sentralisme adalah bonanza minyak. Sebagai salah satu negara pengekspor minyak, Indonesia mendapatkan  berkah berupa pemasukan yang berlimpah dari kenaikan harga minyak.
Bonanza minyak membuat pemerintah dalam kondisi yang baik untuk menjalankan kebijakan sentralisnya, karena dengan naiknya harga minyak membuat pemerintah memiliki pemasukan yang sangat banyak dari ekspor minyak. Namun, harga minyak yang tinggi tidak bertahan selamanya. Pada awal tahun 1980-an harga minyak mulai jatuh dan pemerintah mengalami kesulitan dalam menjalankan berbagai programnya yang sangat bergantung kepada dana yang didapatkan dari ekspor minyak. Hal tersebut membuka peluang kepada para teknokrat untuk memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan ekonomi Indonesia.
Pada bab III dan IV menguraikan peran teknokrat dan komunitas epistemis liberal dalam meyakinkan pemerintah maupun masyarakat bahwa untuk mengatasi kesulitan tersebut langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah deregulasi atau liberalisasi ekonomi. Komunitas epistemis liberal menjadi mitra yang efektif para teknokrat dalam meyakinkan masyarakat tentang pentingnya liberalisasi ekonomi. Bekerja samanya kedua kelompok ini kemudian membuat mereka disebut sebagai koalisi liberal. Jatuhnya harga minyak menjadi momentum yang baik bagi koalisi liberal untuk melakukan reorientasi kebijakan orde baru.
Selain keadaan ekonomi Indonesia, buku ini juga menggambarkan situasi politik pada awal tahun 1980-an yaitu pada bab III. Tepatnya setelah peristiwa Malari, pemerintah menjadi lebih otoriter. Peristiwa Malari membuat Presiden Soeharto semakin waspada terhadap segala ancaman yang dapat membahayakan rezimnya. Sehingga pemerintah lebih bersifat represif terhadap segala ancaman.
Komunitas epistemis liberal memiliki peran dalam menentang kebijakan warisan zaman terdahulu, memperdebatkan sentralisme dan menjelaskan kepada masyarakat. Walaupun komunitas epistemis liberal tidak berada di dalam pemerintahan, namun komunitas epistemis liberal lebih populer dan sering tampil di depan umum dibandingkan kaum teknokrat. Hal tersebut dikarenakan kaum teknokrat pada zaman orde baru merupakan bagian dari pemerintahan sehingga mereka harus bekerja di bawah bayang-bayang Presiden Soeharto. Mereka tidak bisa secara langsung berargumentasi atau mempertahankan pendapatnya tentang kebijakan-kebijakan baru. Apabila mereka terlalu sering tampil di depan umum maka Presiden Soeharto akan mempersulit usaha mereka dalam mengubah kebijakan ekonomi.
Pada bab IV buku ini, menguraikan beberapa hasil wawancara dengan berbagai tokoh epistemis liberal dalam bidang ekonomi, seperti, Goenawan Mohamad, Sjahrir, Jakob Oetama, dan Sadli. Kemudian bab ini juga menjelaskan Sumitro Djojohadikusumo yang semula mendukung sentralisme, namun setelah berbagai kegagalan sentralisme dan negara mengalami kesulitan akibat jatuhnya harga minyak, Sumitro berbalik mendukung liberalisme ekonomi. Sumitro juga pada masa itu menjadi pembicara kunci yang kata-katanya menjadi judul berita utama di hampir semua koran yang terbit keesokan harinya. Kelompok epistemis liberal yang pada saat itu merupakan ekonom, intelektual, penulis dan wartawan, bukan orang pemerintahan yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan, justru yang memiliki peran penting dalam mengusulkan berbagai solusi baru terhadap masalah yang ada.
Berdasarkan buku ini, walaupun kebijakan pemerintah Presiden Soeharto pada awal kepemimpinanya menerapkan kebijakan yang bersifat sentralisme, namun keuntungan dari kebijakan tersebut hanya dapat dirasakan oleh perusahaan negara dan pengusaha-pengusaha yang memiliki kedekatan dengan Presiden. Bahkan ada perusahaan yang diberikan izin tunggal untuk mengimport barang. Namun, pada akhirnya pemerintah mulai sadar bahwa sudah saatnya liberalisasi ekonomi Indonesia harus dilakukan. Titik awal tersebut terjadi saat swastanisasi bea-cukai. Setelah itu liberalisasi ekonomi diterapkan di berbagai sektor. Dampaknya adalah pertumbuhan pesat ekspor nonmigas dan tingkat pertumbuhan ekonomi meningkat. Akhirnya banyak kalangan di masyarakat yang menyadari bahwa liberalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang menindas rakyat dan tidak seperti yang digambarkan pada masa orde lama.
Setelah liberalisasi ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1989, proses liberalisasi ekonomi mulai melemah. Hal ini dikarenakan liberalisasi ekonomi dianggap telah melahirkan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Diperparah dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang miskin. Liberalisasi ekonomi juga telah melahirkan konglomerat-konglomerat baru, terutama etnis keturunan Tionghoa. Konglomerat baru ini dianggap mempersempit peluang usaha kecil untuk berkembang. Selain itu, bisnis keluarga Presiden Soeharto dan orang-orang terdekatnya berkembang semakin pesat. Melemahnya liberalisasi ekonomi  semakin diperparah dengan berkurangnya subsidi  BBM dan penjualan beberapa perusahaan negara kepada swasta. Sehingga banyak kritik yang dilontarkan kepada kaum teknokrat dan komunitas epistemis liberal yang dilakukan oleh lawan-lawannya. Pada saat tersebut koalisi liberal tidak dapat tampil dengan argumentasi yang meyakinkan dan masuk akal seperti periode sebelumnya.
Banyaknya kritik tersebut, membuat Presiden Soeharto mengambil langkah sendiri dalam menentukan kebijakan ekonominya, tanpa berkonsultasi dengan para teknokrat maupun para menterinya. Hal tersebut membuat semakin terbukanya peluang bagi lawan-lawan kaum teknokrat dalam proses penyusunan kebijakan ekonomi. Pada akhir buku ini diuraikan, meskipun sudah 25 tahun Presiden Soeharto berkuasa, namun masih memiliki ambisi yang sangat besar untuk terus berkuasa. Bahkan tidak segan untuk meninggalkan orang yang telah membantunya, termasuk teknokratnya sendiri demi mencapai tujuannya.

Kelebihan Buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992
            Buku ini menarik bagi saya karena tidak terlalu banyak teori dan memberikan gambaran keadaan ekonomi yang cukup jelas pada masa akhir orde lama dan pada masa orde baru disertai dengan data-data yang membuat buku ini semakin menarik. Dalam buku ini banyak istilah ekonomi yang jarang muncul, terutama istilah ekonomi dalam bahasa asing sehingga mendorong saya untuk mencari tahu makna istilah-istilah tersebut. Dengan membaca buku ini saya dapat memahami makna liberalisasi ekonomi yang jauh dari kesan penindasan terhadap kaum proletar.  Prakata dan Kata Pengantar buku ini sangat baik sehingga hanya dengan membacanya, saya mendapatkan gambaran yang cukup jelas tentang isi buku ini.

Kekurangan Buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992
            Isi dari buku ini banyak mengkritik kebijakan ekonomi pada masa orde lama. Sehingga apabila orang awam membaca buku ini akan menimbulkan kesan yang negatif terhadap perekonomian pada masa orde lama. Komposisi antara kelebihan dan kekurangan liberalisasi ekonomi tidak seimbang. Muatannya lebih banyak mengandung kelebihan liberalisasi ekonomi.

Penutup
            Liberalisasi ekonomi merupakan proses perubahan kebijakan dari kebijakan yang mendukung intervensi pemerintah terhadap perekonomian nasional menjadi kebijakan yang mendukung mekanisme pasar dan peran swasta dalam mengelola perekonomian nasional. Dalam proses liberalisasi ekonomi di Indonesia tidak selalu berjalan dengan lancar. Beberapa pihak banyak yang menentang kebijakan liberalisasi ekonomi Indonesia. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dunia dan keadaan politik di dalam negeri.  
             


Previous Post
Next Post

0 komentar: