Karya ini diikutsertakan pada Lomba Esai Nasional FSLN 2017
“Membangun Generasi Abad 21”
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman dan kekayaan yang
tinggi, baik suku, budaya, bahasa, adat istiadat, agama, dan lainnya. Tercatat
Indonesia memiliki lebih dari 18.000 pulau, 250 juta penduduk, dan lebih dari
1.000 suku yang ada di Indonesia.
Tentunya
setiap budaya dan daerah yang ada di Indonesia memiliki nilai-nilai yang luhur,
yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Bila dimaknai dengan baik, nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia dapat membentuk karakter bangsa yang memiliki moral
tinggi.
Namun
sayangnya, keanekaragaman tersebut sering kali menimbulkan konflik di antara
sesama bangsa Indonesia. Masing-masing kelompok menganggap bahwa kelompoknya
yang paling benar. Keegoisan dan sikap tidak mau kalah yang paling diutamakan. Ditambah
dengan banyaknya pemahaman yang menyebar secara dogmatis yang menimbulkan
kecintaan buta terhadap kelompoknya, tanpa memilih dan memilah nilai-nilai yang
ada. Selain itu, masuknya paham-paham radikal yang dapat memecah belah bangsa
Indonesia tidak dapat dihindari.
Seiring
dengan arus globalisasi, budaya dan pengaruh dari berbagai belahan dunia ikut
masuk ke Indonesia. Tentunya pengaruh tersebut ada yang positif dan negatif. Dampak
yang mulai kini terasa adalah kehidupan berbangsa menjadi tidak kondusif. Sikap
intoleran mulai mengakar ke dalam jiwa masyarakat Indonesia. Padahal toleransi
dalam bernegara sangat dibutuhkan, terutama melihat kondisi bangsa Indonesia
yang majemuk, serta untuk mempertahankan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Padahal
masalah ini di Indonesia sudah selesai sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya
ketika para pendiri bangsa Indonesia sepakat untuk menetapkan sila pertama
Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keanekaragaman
dan kekayaan suku, budaya, bahasa, adat istiadat, agama yang ada Indonesia
harus dikenalkan kepada generasi penerus bangsa sejak dini. Dengan begitu, maka
masyarakat akan memandang perbedaan dari dua sisi, yaitu dari sudut pandang
mereka dan dari sudut pandang orang lain.
Pendidikan
yang berbasis multikultural dapat menjadi solusi dalam mewujudkan toleransi
dalam kehidupan bernegara. Toleransi dalam kehidupan bernegara sangat diperlukan
untuk menciptakan stabilitas politik yang kondusif. Selain itu, toleransi juga
bisa mempersatukan bangsa Indonesia yang beranekaragam. Makna dari toleransi
adalah memberi kesempatan kepada orang lain untuk berpikir dan berperilaku
tidak sesuai dengan yang kita lakukan tanpa adanya tekanan maupun gangguan.
Toleransi juga berarti menghargai perbedaan, dan menciptakan keadilan tanpa
memandang latar belakang suku, bangsa, agama, dan adat istiadat. Melalui
pendidikan multikultural, masyarakat diharapkan dapat menghargai perbedaan satu
sama lain. Perbedaan tidak dijadikan alasan untuk berselisih, karena jati diri
sebagai bangsa Indonesia yang akan menjadi identitas utama setiap individu.
Pendidikan
multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Pendidikan multikultural menekankan
sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima
serta memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial[1].
Meminjam
sistem klasifikasi Robinson, Nasikun (2005) menyampaikan bahwa ada tiga
perspektif multikulturalisme di dalam
sistem pendidikan: (1)
perspektif ”cultural
assimilation”; (2) perspektif ”cultural pluralism”; dan (3) perspektif
”cultural synthesis”. Yang pertama, merupakan
suatu model transisi
di dalam sistem
pendidikan yang menunjukkan
proses asimilasi anak atau subyek didik dari berbagai kebudayaan atau
masyarakat sub nasional
ke dalam suatu
”core society”. Yang
kedua, suatu sistem pendidikan yang
menekankan pada pentingnya
hak bagi semua
kebudayaan dan masyarakat sub
nasional untuk memelihara
dan mempertahankan identitas
kutlural masing-masing. Yang ketiga merupakan sintesis dari perspektif
asimilasionis dan pluralis, yang menekankan pentingnya proses terjadinya
eklektisisme dan sintesis di dalam diri anak atau subyek didik dan masyarakat,
dan terjadinya perubahan di dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat sub
nasional. Selanjutnya Nasikun berpendapat bahwa di dalam masyarakat Indonesia
yang sangat majemuk ini yang diperlukan adalah aplikasi pilihan perspektif
pendidikan yang ketiga. Perspektif pendidikan yang demikian memberi peran pada
pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan eklektisisme dan
sintesis beragam kebudayaan sub nasional pada tingkat individual dan masyarakat
dan bagi
promosi terbentuknya suatu
”melting pot” dari
beragam kebudayaan dan masyarakat sub nasional.[2]
Selama
ini di Indonesia, pendidikan yang berbasis kebhinekaan terasa sangat kurang.
Sebagian besar pendidikan terutama yang menyangkut kebudayaan dan kepercayaan
berisikan dogma-dogma yang anti-kritik sehingga terciptanya paradigma di
masyarakat bahwa hanya aliran atau kelompoknya yang benar dan paham yang
berbeda akan dianggap sebagai sesuatu yang menyesatkan. Sehingga terciptanya
masyarakat yang intoleran yang berdampak pada kurangnya toleransi dalam
kehidupan bernegara. Memang benar bahwa dalam ajaran kepercayaan selalu
menyatakan bahwa kepercayaan tersebut yang paling benar, namun dalam kehidupan
sosial seharusnya bisa menghargai perbedaan yang merupakan konsekuensi dari pilihan
setiap individu.
setara-institute.org |
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Setara Institue pada tahun 2007 – 2014 selalu
terdapat lebih dari 100 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia. Hal ini menunjukkan Indonesia belum menjadi negara
yang aman dalam hal kerukunan. Indonesia belum bisa menjadi tempat yang memberikan
perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Kini
semakin diperparah dikarenakan dalam kehidupan bernegara sikap intoleran mulai
berkembang dengan pesat. Terbukti dengan banyaknya peristiwa pembubaran
kegiatan umat agama tertentu oleh oknum kelompok/organisasi masyarakat.
Pembakaran pemukiman penduduk yang berbeda paham juga pernah terjadi. Ditambah
lagi dengan muncul tokoh-tokoh yang mengkafirkan atau mengganggap sesat
kelompok yang tidak sepaham. Bahkan jika sudah ekstrem, tak bisa dipungkiri
akan timbul keyakinan bahwa diperbolehkan membunuh orang atau kelompok yang
tidak sepaham.
Merujuk
apa yang dikemukakan Parekh (1997), multikulturalisme meliputi tiga hal. Pertama,
multikulturalisme berkenaan dengan budaya; kedua, merujuk pada keragaman yang ada;
dan ketiga, berkenaan dengan tindakan spesifik pada respon terhadap keragaman
tersebut[3]. Melalui
pendidikan multikultural, masyarakat terutama anak-anak harus diajarkan
berbagai macam ilmu pengetahuan dari sudut pandang mana pun, diajak untuk aktif
dalam mendiskusikan atau mengkritisi permasalahan, serta mencoba
menginterprestasikan menurut yang ia pahami.
Yang
tak kalah pentingnya, logika berpikir kreatif anak akan berpengaruh terhadap
perilaku sosial. Anak-anak yang terbiasa dihadapkan pada suatu jawaban benar
setiap menjumpai persoalan, mereka cenderung fanatik dan eksklusif. Tumbuh pola
pikir dan sikap “hitam putih”: pemikiranku benar, yang lain salah . Sebaliknya,
mereka yang terbiasa dengan berbagai ide dan kemungkinan alternatif jawaban
terhadap setiap persoalan, mereka cenderung toleran dan terbuka. Pola pikir dan
perilaku kedualah yang kita butuhkan untuk kemajuan bangsa yang majemuk ini.
Dengan bekal pola pikir kreatif, anak didik tak hanya punya keterampilan
melihat multiperspektif untuk menjaga persatuan dalam keragaman, tapi juga
mampu menghadapi dunia yang makin rumit.[4]
Terkhusus
di Indonesia, suatu saat bisa dibuat sebuah kurikulum yang memuat mata
pelajaran pendidikan multikulturan, khususnya di sekolah dasar karena ketika
masih kecil, orang akan lebih mudah menerima sesuatu dibandingkan ketika sudah dewasa.
Pendidikan multikultural di Indonesia bisa dimulai dari memperkenalkan
kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia. Hal ini juga untuk melestarikan
budaya bangsa Indonesia yang mulai terkikis arus globalisasi. Selanjutnya yang
sangat penting adalah anak-anak diberikan pengetahuan tentang kepercayaan-kepercayaan
yang ada, memberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga keharmonisan umat
beragama, dan membentuk paradigma bahwa setiap individu berhak memeluk
kepercayaan apapun karena hal tersebut dilindungi oleh UUD 1945.
Cara
lain yang dilakukan setelah anak tumbuh besar adalah dengan membuatnya hidup
berdampingan dengan orang yang bukan dari etnis atau kepercayaannya. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat bisa saling memahami satu sama lain. Setelah dewasa, anak diberi kesempatan untuk
hidup di lingkungan lain di mana ia merupakan etnis minoritas agar kelak ia
dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas, bagaimana rasanya
diperlakukan tidak adil, bagaimana tidak dianggap oleh lingkungan, agar
kedepannya muncul perasaan bahwa kelompok minoritas juga butuh pengakuan dan
persamaan dari lingkungan.
Pemerintah
juga bisa ikut andil dalam hal mengembangkan sikap toleransi yang penting bagi
kehidupan bernegara, yaitu dengan mengadakan festival atau acara kebudayaan dan
keanekaragaman sebagai bentuk penghargaan terhadap semua kelompok yang ada.
Harapannya masyarakat bisa mengenal semua kebudayaan dan kepercayaan yang hidup
dan berkembang di Indonesia. Secara tidak langsung, hal tersebut juga merupakan
pendidikan multikultural yang memberikan pencerdasan kepada masyarakat melalui
cara nonformal di luar kelas.
Melalui
pendidikan multikultural diharapkan akan berdampak besar pada perilaku generasi
muda di masa yang akan datang. Sikap toleransi dan menghargai perbedaan harus
diterapkan dalam kehidupan bernegara. Toleransi merupakan hal yang paling
penting dalam menciptakan kehidupan bernegara yang damai dan kondusif. Tentunya
merupakan keinginan semua pihak untuk bisa hidup damai tanpa adanya konflik,
karena konflik hanya akan mendarangkan kerugian baik harta benda maupun nyawa.
Oleh karena itu, toleransi harus dijadikan pedoman bagi masyarakat Indonesia
terdiri dari masyarakat yang beragam dan memiliki keunikan masing-masing. Kepentingan individu dan kelompok harus
dikesampingkan. Demi terciptanya Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera
[1]
Rustam Ibrahim, “Pendidikan
Multikultiral: Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan
Islam”. ADDIN, Vol. 7, No. 1, Februari 2013, hlm. 129.
[2] Farida Hanum, “Pendidian
Multikultural dalam Pluralisme Bangsa”, hlm. 15.
[3] Farida Hanum, “Pendidian
Multikultural dalam Pluralisme Bangsa”, hlm. 5.
[4] Mohammad Nuh, “Menyemai Kreator Peradaban”, hlm. 49.
0 komentar: