Minggu, 20 November 2016

Kecenderungan Media dalam Menyudutkan Perempuan pada Kasus Prostitusi

Source: http://klikkabar.com/


Prostutusi merupakan pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[1] Prostitusi atau pelacuran telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh kehidupan manusia. Prostitusi diyakini muncul karena adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Jauh sebelum adanya peradaban modern, tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki, bahkan sampai sekarang masih banyak yang meyakini hal tersebut. Para antropolog melihat bahwa pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yang berpola matriarkhi. Sedangkan kaum feminis memandang bahwa pelacuran adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara kaum Marxis melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan kapitalisme.[2]

Pada zaman modern, media telah mampu memberitakan segala macam aspek kehidupan, termasuk prostitusi. Namun sangat disayangkan, sering kali pemberitaan oleh media cenderung menyudutkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan pekerja seks komersial (PSK) sering dianggap sebagai perempuan tak bermoral, jauh dari agama dan norma. Sedangkan para pria yang menggunakan jasa prostitusi jarang sekali mendapatkan stigma negatif. Padahal pelacuran tidak hanya dilakukan oleh wanita. Tak jarang pria ikut menjual tubuhnya demi mendapatkan keuntungan. Istilah laki-laki pendamping, gigolo, anak laki-laki sewaan, pemijat pria plus plus, hampir tidak pernah diberitakan media.

 Dalam setiap prostitusi pada dasarnya pihak yang terlibat terdiri dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa terlibat sebagai pengguna jasa prostitusi, perantara, mucikari, dll. Namun, hampir di sebagian besar media, terutama dalam membuat judul berita, selalu saja perempuan yang ditampilkan, sehingga terbentuk sebuah paradigma pada masyarakat bahwa dalam kasus prostitusi yang salah adalah perempuan dan para PSK selalu diberi stigma negatif. Padahal fakta di lapangan banyak perempuan yang terlibat prostitusi tidak atas dasar keinginan sendiri, misalnya karena ayah yang menjual anak gadisnya, atau suami yang menjual istrinya untuk dijadikan PSK atas dasar desakan ekonomi.

Selain memberikan paradigma dan stigma negatif sebagai dampak dari pemberitaan prostitusi oleh media yang cenderung menyudutkan perempuan pada kasus prostitusi, tak jarang menimbulkan perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, terutama bagi perempuan yang menggunakan pakaian terbuka atau sering pulang malam, terlebih jika diketahui perempuan tersebut adalah PSK. Padahal, para PSK justru memerlukan pertolongan atas posisi sosial dan ekonominya yang amat rentan. Seharusnya media mampu menjadi sarana untuk membentuk sebuah paradigma di masyarakat bahwa PSK layak diberikan tempat di masyarakat, karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi.

Hal ini berbanding terbalik dengan pemberitaan media terhadap laki-laki dalam kasus prostitusi. Jarang sekali media yang menampilkan berita tentang prostitusi yang menyudutkan atau melimpahkan kesalahan terhadap laki-laki. Padahal bila melihat secara objektif, tentu baik laki-laki maupun perempuan ikut andil dengan perannya masing-masing. Laki-laki yang terlibat dalam prostitusi, baik sebagai pengguna jasa atau penyedia jarang sekali mendapat stigma negatif, berbanding terbalik dengan keadaan perempuan yang terlibat prostitusi.




[1] KBBI
[2] Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, (Medan: Perdana Mitra Handalan, 2015) hlm. 1.
Previous Post
Next Post

0 komentar: