Source: http://klikkabar.com/ |
Prostutusi merupakan pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[1]
Prostitusi atau pelacuran telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh
kehidupan manusia. Prostitusi diyakini muncul karena adanya pembagian peran
laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Jauh sebelum
adanya peradaban modern, tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan
seks laki-laki, bahkan sampai sekarang masih banyak yang meyakini hal tersebut.
Para antropolog melihat bahwa pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat
primitif yang berpola matriarkhi. Sedangkan kaum feminis memandang bahwa
pelacuran adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara kaum Marxis
melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan kapitalisme.[2]
Pada zaman modern, media telah mampu
memberitakan segala macam aspek kehidupan, termasuk prostitusi. Namun sangat
disayangkan, sering kali pemberitaan oleh media cenderung menyudutkan perempuan
sebagai pihak yang bersalah. Perempuan pekerja seks komersial (PSK) sering
dianggap sebagai perempuan tak bermoral, jauh dari agama dan norma. Sedangkan
para pria yang menggunakan jasa prostitusi jarang sekali mendapatkan stigma
negatif. Padahal pelacuran tidak hanya dilakukan oleh wanita. Tak jarang pria
ikut menjual tubuhnya demi mendapatkan keuntungan. Istilah laki-laki
pendamping, gigolo, anak laki-laki sewaan, pemijat pria plus plus, hampir tidak
pernah diberitakan media.
Dalam setiap prostitusi pada
dasarnya pihak yang terlibat terdiri dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki
bisa terlibat sebagai pengguna jasa prostitusi, perantara, mucikari, dll. Namun,
hampir di sebagian besar media, terutama dalam membuat judul berita, selalu
saja perempuan yang ditampilkan, sehingga terbentuk sebuah paradigma pada
masyarakat bahwa dalam kasus prostitusi yang salah adalah perempuan dan para PSK
selalu diberi stigma negatif. Padahal fakta di lapangan banyak perempuan yang
terlibat prostitusi tidak atas dasar keinginan sendiri, misalnya karena ayah
yang menjual anak gadisnya, atau suami yang menjual istrinya untuk dijadikan PSK
atas dasar desakan ekonomi.
Selain memberikan paradigma dan
stigma negatif sebagai dampak dari pemberitaan prostitusi oleh media yang cenderung
menyudutkan perempuan pada kasus prostitusi, tak jarang menimbulkan perlakuan
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, terutama bagi perempuan yang
menggunakan pakaian terbuka atau sering pulang malam, terlebih jika diketahui
perempuan tersebut adalah PSK. Padahal, para PSK justru memerlukan pertolongan
atas posisi sosial dan ekonominya yang amat rentan. Seharusnya media mampu
menjadi sarana untuk membentuk sebuah paradigma di masyarakat bahwa PSK layak
diberikan tempat di masyarakat, karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia
yang harus diperlakukan secara manusiawi.
Hal ini berbanding terbalik dengan
pemberitaan media terhadap laki-laki dalam kasus prostitusi. Jarang sekali
media yang menampilkan berita tentang prostitusi yang menyudutkan atau
melimpahkan kesalahan terhadap laki-laki. Padahal bila melihat secara objektif,
tentu baik laki-laki maupun perempuan ikut andil dengan perannya masing-masing.
Laki-laki yang terlibat dalam prostitusi, baik sebagai pengguna jasa atau
penyedia jarang sekali mendapat stigma negatif, berbanding terbalik dengan
keadaan perempuan yang terlibat prostitusi.
[1]
KBBI
[2]
Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model
Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat
Dalihan Na Tolu, (Medan: Perdana Mitra Handalan, 2015) hlm. 1.
0 komentar: