Berkunjung
ke suku Baduy sudah menjadi wacana saya dan teman-teman sejak tahun lalu.
Berawal dari ajakan teman yang tinggal di Rangkasbitung untuk sekedar mengisi
waktu liburan. Namun dikarenakan hal tersebut hanya sekedar wacana, maka
berwisata ke suku Baduy baru terlaksana pada liburan semester kali ini. Menuju
ke Baduy saya berangkat bersama , total kami ada 6 orang 5 orang teman saya,
total kami ada 6 orang.
Suku
Baduy sendiri berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Untuk menuju ke sana saya bersama empat orang teman berangkat dari Cileunyi.
Sedangkan 1 orang lagi merupakan orang Rangkasbitung. Dari Cileunyi kami
menggunakan Bis Primajasa menuju Lebak Bulus dengan tarif Rp. 40.000,-. Kami
sampai di Cileunyi pada Minggu, 21 Jannuari 2018 pukul 23.00. Untuk mendapatkan
bis tersebut kami harus menunggu kurang lebih sekitar 20 menit. Ketika bis
tiba, kami cukup gelisah dikarenakan bis sudah cukup penuh dilihat dari adanya
penumpang yang berdiri ditambah dengan banyaknya calon penumpang di Cileunyi
yang hendak naik bis tersebut. Namun apa daya, melihat waktu sudah menunjukkan
pukul 23.20 kami mau tidak mau menaiki bis tersebut. Di dalam bis, kami
bersyukur bisa duduk, walaupun ala kadarnya di paling depan dekat pintu keluar
dan tempat duduk supir. Walaupun sudah memasuki tol, bis masih menarik
penumpang yaitu para supporter yang habis menonton pertandingan sepak bola.
Sehingga kondisi bis semakin sesak oleh penumpang. Di perjalanan pun kami tidak
bisa beristirahat dengan tenang dikarenakan banyaknya penumpang yang turun di
tengah jalan tol. Setelah memasuki daerah Purwakarta, kami bisa istirahat
dengan cukup tenang dikarenakan sudah tidak ada penumpang yang turun di jalan
tol. Perjalanan menuju Lebak Bulus ditempuh kurang lebih 3 setengah jam. Kami
berhasil mendapatkan tempat duduk ketika sudah mulai memasuki Jakarta. Walaupun
demikian, kami bisa tidur sedikit nyenyak di tempat duduk penumpang.
Setelah
tiba di Lebak Bulus, kami menaiki Angkot D01 trayek Kebayoran – Ciputat. Kami
naik dari Lebak Bulus dan turun di Pasar Kebayoran Lama dengan ongkos Rp.
5.000,-. Kami tiba sekitar pukul 3.30 dini hari. Kondisi pasar sudah sangat
ramai. Jam yang menunjukkan waktu beristirahat tidak menghambat aktivitas
pedagang untuk menyiapkan dagangannya. Selain itu juga banyak motor dan Angkot
yang lalu lalang sehingga kondisi semakin ramai. Dari pasar tempat kami turun
dari angkot, kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter menuju ke Stasiun
Kebayoran Lama. Namun sayang sekali, stasiun masih tutup. Kami pun bertanya
pada warga sekitar kapan stasiun dibuka. Dari situ kami tahu bahwa stasiun baru
dibuka pada pukul 05.00. Kemudian kami memutuskan untuk mencari tempat
peristirahatan. Kami pun sepakat mencari warung kopi, dan kami menemukannya
tidak jauh dari stasiun. Kebetulan ketika kami sampai di Warung Kopi, sedang
ada warga dan pedagang yang menonton pertandingan sepak bola, yaitu Liga
Spanyol antara Real Betis vs Barcelona. Berhubung kebanyakan dari kami menyukai
sepak bola, maka kami menghabiskan waktu sambil minum kopi dan menonton sepak
bola. Satu orang di antara kami dikarenakan kurang menyukai sepak bola akhirnya
tertidur di warung kopi. Waktu berselang tak terasa. Adzan Subuh pun akhirnya
berkumandang seiring dengan ditiupnya pluit oleh wasit, menandakan habisnya 2 x
45 menit. Dari warung kopi kami langsung menuju Stasiun Kebayoran Lama.
Setibanya
di stasiun kami cukup bingung diakarenakan untuk memasuki stasiun kami harus
memiliki tiket commuter. Saya sempat
membaca petunjuk terlebih dahulu. Namun pada akhirnya salah satu teman saya
bertanya ke petugas yang berjaga. Akhirnya petugas tersebut memandu kami untuk
mendapatkan tiket commuter sesuai tujuan
kami, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Malu memang rasanya ketika hendak bertanya
kepada petugas. Seolah kami dari negeri entah berantah. Namun bagaimana lagi,
pepatah mengatakan “Malu bertanya sesat
di jalan” memang benar. Dengan bertanya pada petugas akhirnya kami bisa
mendapatkan tiket commuter menuju
Stasiun Rangkasbitung. Tiket tersebut kami beli seharga Rp. 18.000,-. Untuk
tarif Kebayoran – Lama Rangkasbitung seharga Rp. 8.000,- sedangkan Rp. 10.000,-
merupakan uang jaminan untuk tiket yang dapat kami tukarkan kembali sebelum
masa tenggang habis, yaitu 7 hari. Kondisi stasiun terbilang nyaman. Kondisi
toilet dan mushola bersih dan nyaman. Stasiunnya pun sangat luas sehingga
disertai tempat duduk untuk menunggu commuter.
Selepas Shalat Subuh kami menunggu di bawah, di depan perlintasan commuter. Pukul 06.00 akhirnya commuter yang kami harapkan tiba juga.
Di dalam commuter kami dapat duduk
dengan nyaman diakrenakan kebanyakan penumpang menaiki commuter menuju arah berlawanan. Perjalanan kami tempuh kurang
lebih selama 2 jam dan kami habiskan dengan tidur dikarenakan pada saat di bis,
istirahat kami kurang maksimal. Sekitar pukul 08.00 kami tiba di Stasiun
Rangkasbitung. Teman kami sudah menunggu di sana. Setelah melakukan tap out kami langsung menuju rumahnya
untuk bersantap pagi, mandi, dan membeli beberapa makanan dan barang untuk
perbekalan kami.
Setelah
beristirahat, sarapan, dan mandi kurang lebih pukul 11 siang kami pun pergi
menuju Desa Kanekes. Dari Rangkasbitung kami harus menggunakan 2 kendaraan.
Yang pertama kami menggunakan angkot menuju Terminal Awe dengan tarif Rp.
4.000,- lalu kami menggunakan elf menuju Ciboleger. Perjalanan dengan tarif Rp.
25.000,-. Perjalanan kami tempuh kurang lebih selama 2 jam. Hal tersebut
terbilang cukup cepat karena elf yang kami tumpangi melaju seperti kerasukan
setan, memang wajar untuk ukuran sebuah elf. Di tengah perjalanan ternyata
banyak warga suku baduy luar yang menaiki elf, terlihat dari pakaian mereka
yang serba hitam, tidak menggunakan alas kaki, dan menggunakan ikat kepala
hitam dengan corak biru. Selain itu, banyak pula anak sekolah (terutama SMP)
yang menaiki elf. Namun yang membuat kami heran adalah dikarenakan elf sudah
penuh, anak-anak SMP menaiki elf di atas bahkan termasuk juga perempuan. Jika
yang naik di atas elf pria dewasa, atau anak laki-laki sudah biasa saya lihat,
namun saya cukup tercengang karena anak perempuan pun ikut naik di atas.
Perjalanan berakhir ketika kami memasuki Ciboleger. Kami sampai sekitar pukul
14.00. Ciboleger sering dianggap terminal oleh masyarakat sekitar, namun
sekilas terlihat seperti lapangan tempat parkir. Meskipun terletak di dekat
Kawasan Suku Baduy, namun sudah ada mini market dan sepanjang perjalananan pun
jalan yang kami lalui cukup bagus.
Setiba
di Ciboleger kami langsung disapa oleh Kang Arwan, salah seorang warga Suku
Baduy Luar. Kami mendapatkan kontak beliau dari salah satu kerabat yang sudah
pernah mengunjungi Kawasan Suku Baduy. Setelah itu kami di antar langsung ke
rumah beliau tempat kami menginap. Ternyata permukiman Suku Baduy tak jauh dari
Ciboleger, kurang lebih berjalan kaki 5 menit kami sudah sampai di rumah Kang
Arwan. Ketika hendak memasuki Kawasan Suku Baduy terdapat sebuah gapura
penanda. Bayangan kami semula bahwa masyarakat Baduy hidup jauh dari keramaian,
belum tersentuh teknologi, dan tinggal di daerah terpencil. Namun anggapan kami
salah karena faktanya Suku Baduy, terutama Baduy Luar hidup berdampingan
masyarakat. Sebelum memasuki Gapura Baduy Luar banyak rumah-rumah warga. Bahkan
ada Sekolah Dasar dan fotocopy.
Perbedaan yang mendasar antara rumah warga dan Suku Baduy adalah rumah yang
digunakan Orang Baduy terbuat dari kayu dan bambu, selain itu rumah mereka juga
tidak dialiri listrik, sesuai dengan adat mereka. Tetapi Kantor Desa Kanekes
yang terletak di kawasan permukiman Suku Baduy sudah dialiri listrik dan rumahnya
sudah menggunakan tembok seperti pada umumnya.
Sesampainya
di rumah Kang Arwan kami langsung disuguhi Kopi Hitam. Kami berbincang-bincang
mengenai kehidupan Suku Baduy. Dari informasi yang kami dapatkan, perbedaan
antara Baduy Luar dan Baduy Dalam yaitu pertama dari pakaian Baduy Dalam
menggunakan Hitam Putih tanpa alas kaki. Sedangkan Baduy Luar menggunakan
pakaian hitam dengan ikat kepala hitam bercorak biru, terkadang juga berpakaian
seperti kebanyakan orang pada umumnya yaitu menggunakan kemeja, kaos, sendal,
dll. Kedua rumah orang baduy luar
menggunakan paku, terdapat perkakas seperti wajan, lemari, bahkan mereka sudah
memiliki hanphone. Sedangkan rumah
orang Baduy Dalam tidak menggunakan paku namun menggunakan tali untuk mengikat
kayu atau bambu. Penggunaan perkakas pun tidak diperkenankan apalagi handphone.
![]() |
Suasana Permukiman Baduy Luar |
Kehidupan
orang Baduy memang sederhana, namun penuh makna. Mereka pada umunya bertani,
berkebun, berjualan, dan bagi perempuan Baduy mereka menenun. Dalam hal
perdagangan, mereka pada umunya berjualan kain tenun, pakaian khas Baduy,
kerajinan, durian, dan madu. Harga kain tenun mulai dari Rp. 20.000,- sampai
Rp. 350.000,-. Pakaian berkisar Rp. 50.000- sampai Rp. 150.000,-. Kerajinan
mulai dari Rp. 5.000,- sampai Rp. 200.000,- dan durian Rp. 20.000,-. Membeli
durian di sini cukup unik. Jika dimakan disini, apabila durian yang dimakan
tidak manis, maka pembeli tidak usah membayarnya. Perdagangan suku Baduy
terbilang cukup maju. Walaupun secara kasat mata mereka tertutup dari pengaruh
budaya luar, namun khususnya suku Baduy Luar mereka bahkan sudah berdagangan
melalui media sosial dan mengirimkan dagangan mereka ke luar daerah, seperti ke
Jakarta, Bandung, bahkan ke luar Jawa.
Anak-anak
Baduy tidak mendapatkan pendidikan formal pada umumnya. Memasuki usia 8 tahun
mereka sudah mulai bekerja membantu orang tua seperti membuat kain tenun dan
mengangkut hasil bumi. Jarang sekali melihat anak Baduy yang bermain seperti
kebanyakan anak usia mereka. Cita-cita mereka sederhana yaitu ingin membantu orang
tua.
Setelah
berbincang-bincang dengan Kang Arwan, kami disuguhi makan siang. Orang Baduy
makan biasanya sangat sederhana. Sayur sop, tempe, dan ikan teri merupakan
makanan mereka sehari-hari. Daging merupakan barang yang langka, meskipun mudah
sekali di permukiman mereka menjumpai ayam.
Sehabis
itu kami berjalan-jalan di sekitar permukiman Baduy Luar dan Ciboleger. Kesan
mistis dan seram Suku Baduy tidak nampak oleh kami. Bahkan suasananya jauh dari
hal-hal tersebut. Dari pagi hingga sore mudah sekali menjumpai pria dan anak
laki-laki Baduy yang mengangkut durian. Sedangkan para perempuan menjaga rumah
sambil menenun atau sekedar menjaga barang dagangan. Jalan di sepanjang kawasan
permukiman Baduy Dalam tidak menggunakan aspal, hanya bebatuan dan tanah
sehingga masih terlihat alami. Di malam hari pun tidak ada lampu penerangan
baik di jalan maupun di depan rumah. Orang Baduy Luar biasanya menggunakan
senter atau lampu minyak untuk penerangan di dalam rumah. Hal ini merupakan
budaya yang sudah mereka jaga sejak dulu.
Pada
saat hari menjelang malam, kami sempat mengunjungi rumah Kepala Desa Kanekes
atau yang biasa disebut Jaro, yaitu Bapak Saija. Kami berbincang-bincang
seputar adat istiadat dan budaya Suku Baduy, termasuk kepercayaan. Kami
mendapat informasi seputar struktur adat baduy (yang dapat dilihat pada gambar
di bawah). Selain itu, pada saat kami berkunjung bertepatan dengan bulan kawalu
yang merupakan masa di mana wisatawan dilarang berkunjung sehingga kami tidak
bisa mengunjungi Baduy Dalam. Larangan tersebut dikarenakan wisatawan yang
berkunjung dapat mengganggu ritual mereka, namun wisatawan tetap bisa melihat
Orang Baduy Dalam ketika mereka hendak keluar kampung. Kepercayaan yang dianut
orang Baduy merupakan Sunda Wiwitan. Dari perbincangan dengan Pak Saija aku
mendapatkan informasi bahwa secara substansial tidak berbeda jauh dengan ajaran
Islam. Mereka mengakui Nabi Adam A.S. hingga Nabi Muhammad SAW. Mereka juga
memiliki semacam “rukun Islam”. Yang menjadi pembeda adalah terkait upacara atau
ritual beribadah.
![]() |
Struktur Adat Baduy. (Sumber: x.detik.com) |
Ketika
matahari terbenam, kami kembali ke rumah Kang Arwan, tempat kami menginap. Kami
langsung disuguhi makan malam. Setelah itu, kami berbincang-bincang kembali.
Yang saya kagumi dari orang Baduy adalah bahwa mereka dilarang menyakiti
sesama, bahkan memukul pun dilarang. Filosofinya adalah sebelum memukul orang
lain, pukul dulu dirimu, apabila terasa sakit maka jangan dilakukan karena
orang lain pun akan merasakan sakit. Orang Baduy, terutama Baduy Luar ternyata
tidak seperti yang kami bayangkan, jauh dari peradaban. Bahkan katanya mereka
juga banyak yang bisa mengemudi kendaraan. Tak jarang ada juga yang memiliki
secara sembunyi-sembunyi. Untuk itu terdapat semacam inpeksi yang dilakukan
oleh lembaga adat untuk memastikan masyarakat Baduy tidak melanggar adat.
Apabila ketahuan melanggar akan terkena sanksi. Selain itu, Orang Baduy juga
tidak mengenal pernikahan dengan orang luar Baduy. Memang terdapat orang yang
menikah dengan orag luar Baduy, tapi pada akhirnya ia harus keluar dari Baduy. Selepas
berbincang-bincang malam dengan Kang Arwan, kami langsung tidur, mengisi tenaga
untuk keesokan harinya.
Hari
kedua di Baduy, kami memutuskan untuk mengunjungi Kampung Gajeboh. Jaraknya
kurang lebih 2-3 KM dari permukiman terluar Orang Baduy. Dari perjalanan ini
kami ketahui bahwa permukiman Suku Baduy tersebar di beberapa tempat dengan
jarak antar permukiman kurang lebih 500 meter. Jalan yang kami lalui merupakan
perbukitan dengan medan naik-turun. Jalannya pun merupakan tanah alam.
Dikarenakan kami berkunjung pada musim hujan, maka jalan yang kami lalui cukup
licin. Di sepanjang perjalanan kami melihat hilir mudik Masyrakat Baduy yang
mengangkut durian, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau orang
dewasa. Kebanyakan dari mereka tidak menggunakan alas kaki alias nyeker. Namun tak jarang juga ada yang
menggunakan sendal jepit dan terlihat ada anak lelaki yang menggunakan sepatu
olahraga. Untuk menuju Gajeboh, dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam berjalan
kaki. Kami disuguhi pemandangan berupa hutan belantara yang masih alami. Selain
itu, terdapat beberapa permukiman Suku Baduy Luar yang kami lintasi. Permukiman
Suku Baduy Luar memang terlihat sangat menjaga adat istiadat, mulai dari
rumahnya, tanahnya, pola permukimannya. Namun mereka tidak menutup dari budaya
luar yang tidak bertentangan dengan adat, seperti penggunaan telepon genggam, pakaian,
perabotan, dll.
Setelah
berjalan selama kurang lebih satu jam, kami akhirnya tiba juga di Kampung
Gajeboh. Tempat ini tidak ada bedanya degan permukiman Suku Baduy lainnya.
Namun yang membedakan adalah di sini terdapat sungai yang tidak dijumpai di
permukiman lainnya. Ada pula jembatan tradisional yang terbuat dari bambu. Sangat
sederhana memang, namun mampu menampung 2-3 orang untuk dilintasi.
![]() |
Warga Baduy Luar yang Mengangkut Barang Dagangan |
Setelah
melintasi jembatan, kami berjumpa dengan Abah Nasindah, seorang warga Suku
Baduy yang tampak sudah tua. Pertama kali saya lihat ia sedang bersama
wisatawan lain yang mengajak untuk berfoto. Dia pun tampak mahir memainkan
sebuah alat musik tradisional yang kemudian saya ketahui namanya adalah Let,
sebuah alat musik tiup yang mirip dengan seruling namun ukurannya jauh lebih
kecil.
![]() |
Jembatan Kayu di Gajeboh |
![]() |
Abah Nasindah |
Ketika
wisatawan yang bersama Abah sudah pergi, saya pun menghampiri Abah untuk
bercengkerama kemudian disusul oleh teman-teman yang lainnya. Kulitnya memang
sudah kering termakan usia, namun ia masih memiliki ingatan yang cukup bagus
untuk orang seusianya yang sudah memasuki 99 tahun. Ia bercerita bahwa dulu ia
sering mengunjungi daerah-daerah lain, seperti Bali dan Yogyakarta. Ia orang
yang sangat ramah. Bahkan memintaku untuk memainkan Let tersebut. Kami pun
mengajaknya untuk berfoto bersama, sekedar untuk kenang-kenangan dan ia pun
tidak berkeberatan. Kebersamaan kami terhenti ketika hujan datang. Abah
langsung berlari menuju permukiman. Di usianya yang hampir 1 abad, ternyata
Abah masih kuat untuk berlari. Kami pun ikut berteduh di permukiman warga untuk
menunggu hujan reda. Setelah hujan reda kami memutuskan untuk kembali ke rumah
Kang Arwan karena dikhawatirkan hujan akan turun kembali. Dan benar saja. Di
tengah perjalanan ternyata hujan turun kembali. Saya yang memakai sandal jepit
legendaris terpaksa berjalan paling lambat, bahkan harus melepas sandal karena
medan yang terlalu licin. Ketika hendak memasuki permukiman Kang Arwan, kami
mengunjungi salah satu rumah yang menjual barang dagangan khas Baduy. Saya
membeli gantungan kunci, gelang, dan kalung yang tiap-tiap benda tersebut
harganya Rp. 5.000,-. Selepas membeli barang khas Baduy, kami langsung pulang
ke rumah Kang Arwan, makan, dan mandi untuk siap-siap pulang. Sebelum pulang,
kami membeli durian di rumah Kang Arwan terlebih dahulu. Dan benar seperti yang
saya bilang di awal, saya diharuskan membayar durian yang manis saja. Kami pun
langsung menuju terminal Ciboleger untuk mencari elf yang hendak ke
Rangkasbitung.
Ketika
tiba di Ciboleger, kami cukup kecewa karena elf yang hendak kami tumpangi sudah
pergi dan elf itu merupakan elf yang terakhir. Warga setempat bilang bahwa elf
sudah berangkat 20 menit yang lalu. Kami pun ditawari untuk menyewa angkot
untuk menuju ke Rangkasbitung. Awalnya sang calo memberitahu bahwa harga angkot
untuk sekali sewa basanya Rp. 400.000,- namun karena kami keberatan membayar
seharga uang tersebut, akhirnya setelah melalui negosiasi dengan sopir angkot
kami menyewa angkot seharga Rp. 230.000,-.
Saat-saat
yang paling tegang pun tiba. Ketika kami hendak menunggu angkot yang akan kami
tumpangi, terjadilah gempa bumi sekitar pukul 13.30. Saat itu saya sedang duduk
di sebuah minimarket, menunggu teman yang sedang membeli minuman. Namun saya
tiba-tiba mendengar suara benda jatuh cukup keras dan ada seorang pria yang
berteriak “gempa-gempa”. Sontak saya pun kaget dan langsung berlari ke tengah
jalan, menuju area terbuka. Lokasi yang cukup dekat dengan pusat gempa membuat
gempa kali ini berbeda dengan yang biasa saya rasakan. Terlebih ketika melihat
genteng dan kaca bangunan seperti hendak rubuh. Gempa berlangsung kurang lebih
selama 15-30 detik, disusul oleh gempa kedua dengan durasi yang hampir sama.
Namun gempa kedua membuat patung Baduy rusak. Kurang lebih 5 menit setelah
gempa, angkot pun datang dan kami langsung menaiki angkot menuju Rangkasbitung,
khawatir ada gempa susulan.
Singkat
memang liburan kami di tanah Baduy ini. Namun banyak sekali nilai yang berharga
yang bisa kami pelajari. Mulai dari kesederhanaan dan kejujuran orang Baduy,
ajaran untuk tidak menyakitu sesama manusia, menjaga keaslian dan kelestarian
alam, hingga filosofi kepercayaan mereka. Saya sangat menganjurkan bagi teman-teman
pembaca untuk suatu saat nanti mengunjungi tempat ini. Memang bukan tempat
wisata yang mewah, namun percaya lah ada nilai berharga yang hanya bisa
didapatkan di sini.
Bandung,
28 Januari 2018.
0 komentar: