Minggu, 28 Januari 2018

Berwisata ke Suku Baduy, Belajar Tradisi, Budaya, dan Kehidupan

Berkunjung ke suku Baduy sudah menjadi wacana saya dan teman-teman sejak tahun lalu. Berawal dari ajakan teman yang tinggal di Rangkasbitung untuk sekedar mengisi waktu liburan. Namun dikarenakan hal tersebut hanya sekedar wacana, maka berwisata ke suku Baduy baru terlaksana pada liburan semester kali ini. Menuju ke Baduy saya berangkat bersama , total kami ada 6 orang 5 orang teman saya, total kami ada 6 orang.

Suku Baduy sendiri berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Untuk menuju ke sana saya bersama empat orang teman berangkat dari Cileunyi. Sedangkan 1 orang lagi merupakan orang Rangkasbitung. Dari Cileunyi kami menggunakan Bis Primajasa menuju Lebak Bulus dengan tarif Rp. 40.000,-. Kami sampai di Cileunyi pada Minggu, 21 Jannuari 2018 pukul 23.00. Untuk mendapatkan bis tersebut kami harus menunggu kurang lebih sekitar 20 menit. Ketika bis tiba, kami cukup gelisah dikarenakan bis sudah cukup penuh dilihat dari adanya penumpang yang berdiri ditambah dengan banyaknya calon penumpang di Cileunyi yang hendak naik bis tersebut. Namun apa daya, melihat waktu sudah menunjukkan pukul 23.20 kami mau tidak mau menaiki bis tersebut. Di dalam bis, kami bersyukur bisa duduk, walaupun ala kadarnya di paling depan dekat pintu keluar dan tempat duduk supir. Walaupun sudah memasuki tol, bis masih menarik penumpang yaitu para supporter yang habis menonton pertandingan sepak bola. Sehingga kondisi bis semakin sesak oleh penumpang. Di perjalanan pun kami tidak bisa beristirahat dengan tenang dikarenakan banyaknya penumpang yang turun di tengah jalan tol. Setelah memasuki daerah Purwakarta, kami bisa istirahat dengan cukup tenang dikarenakan sudah tidak ada penumpang yang turun di jalan tol. Perjalanan menuju Lebak Bulus ditempuh kurang lebih 3 setengah jam. Kami berhasil mendapatkan tempat duduk ketika sudah mulai memasuki Jakarta. Walaupun demikian, kami bisa tidur sedikit nyenyak di tempat duduk penumpang.

Setelah tiba di Lebak Bulus, kami menaiki Angkot D01 trayek Kebayoran – Ciputat. Kami naik dari Lebak Bulus dan turun di Pasar Kebayoran Lama dengan ongkos Rp. 5.000,-. Kami tiba sekitar pukul 3.30 dini hari. Kondisi pasar sudah sangat ramai. Jam yang menunjukkan waktu beristirahat tidak menghambat aktivitas pedagang untuk menyiapkan dagangannya. Selain itu juga banyak motor dan Angkot yang lalu lalang sehingga kondisi semakin ramai. Dari pasar tempat kami turun dari angkot, kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter menuju ke Stasiun Kebayoran Lama. Namun sayang sekali, stasiun masih tutup. Kami pun bertanya pada warga sekitar kapan stasiun dibuka. Dari situ kami tahu bahwa stasiun baru dibuka pada pukul 05.00. Kemudian kami memutuskan untuk mencari tempat peristirahatan. Kami pun sepakat mencari warung kopi, dan kami menemukannya tidak jauh dari stasiun. Kebetulan ketika kami sampai di Warung Kopi, sedang ada warga dan pedagang yang menonton pertandingan sepak bola, yaitu Liga Spanyol antara Real Betis vs Barcelona. Berhubung kebanyakan dari kami menyukai sepak bola, maka kami menghabiskan waktu sambil minum kopi dan menonton sepak bola. Satu orang di antara kami dikarenakan kurang menyukai sepak bola akhirnya tertidur di warung kopi. Waktu berselang tak terasa. Adzan Subuh pun akhirnya berkumandang seiring dengan ditiupnya pluit oleh wasit, menandakan habisnya 2 x 45 menit. Dari warung kopi kami langsung menuju Stasiun Kebayoran Lama.

Setibanya di stasiun kami cukup bingung diakarenakan untuk memasuki stasiun kami harus memiliki tiket commuter. Saya sempat membaca petunjuk terlebih dahulu. Namun pada akhirnya salah satu teman saya bertanya ke petugas yang berjaga. Akhirnya petugas tersebut memandu kami untuk mendapatkan tiket commuter sesuai tujuan kami, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Malu memang rasanya ketika hendak bertanya kepada petugas. Seolah kami dari negeri entah berantah. Namun bagaimana lagi, pepatah mengatakan “Malu bertanya sesat di jalan” memang benar. Dengan bertanya pada petugas akhirnya kami bisa mendapatkan tiket commuter menuju Stasiun Rangkasbitung. Tiket tersebut kami beli seharga Rp. 18.000,-. Untuk tarif Kebayoran – Lama Rangkasbitung seharga Rp. 8.000,- sedangkan Rp. 10.000,- merupakan uang jaminan untuk tiket yang dapat kami tukarkan kembali sebelum masa tenggang habis, yaitu 7 hari. Kondisi stasiun terbilang nyaman. Kondisi toilet dan mushola bersih dan nyaman. Stasiunnya pun sangat luas sehingga disertai tempat duduk untuk menunggu commuter. Selepas Shalat Subuh kami menunggu di bawah, di depan perlintasan commuter. Pukul 06.00 akhirnya commuter yang kami harapkan tiba juga. Di dalam commuter kami dapat duduk dengan nyaman diakrenakan kebanyakan penumpang menaiki commuter menuju arah berlawanan. Perjalanan kami tempuh kurang lebih selama 2 jam dan kami habiskan dengan tidur dikarenakan pada saat di bis, istirahat kami kurang maksimal. Sekitar pukul 08.00 kami tiba di Stasiun Rangkasbitung. Teman kami sudah menunggu di sana. Setelah melakukan tap out kami langsung menuju rumahnya untuk bersantap pagi, mandi, dan membeli beberapa makanan dan barang untuk perbekalan kami.

Setelah beristirahat, sarapan, dan mandi kurang lebih pukul 11 siang kami pun pergi menuju Desa Kanekes. Dari Rangkasbitung kami harus menggunakan 2 kendaraan. Yang pertama kami menggunakan angkot menuju Terminal Awe dengan tarif Rp. 4.000,- lalu kami menggunakan elf menuju Ciboleger. Perjalanan dengan tarif Rp. 25.000,-. Perjalanan kami tempuh kurang lebih selama 2 jam. Hal tersebut terbilang cukup cepat karena elf yang kami tumpangi melaju seperti kerasukan setan, memang wajar untuk ukuran sebuah elf. Di tengah perjalanan ternyata banyak warga suku baduy luar yang menaiki elf, terlihat dari pakaian mereka yang serba hitam, tidak menggunakan alas kaki, dan menggunakan ikat kepala hitam dengan corak biru. Selain itu, banyak pula anak sekolah (terutama SMP) yang menaiki elf. Namun yang membuat kami heran adalah dikarenakan elf sudah penuh, anak-anak SMP menaiki elf di atas bahkan termasuk juga perempuan. Jika yang naik di atas elf pria dewasa, atau anak laki-laki sudah biasa saya lihat, namun saya cukup tercengang karena anak perempuan pun ikut naik di atas. Perjalanan berakhir ketika kami memasuki Ciboleger. Kami sampai sekitar pukul 14.00. Ciboleger sering dianggap terminal oleh masyarakat sekitar, namun sekilas terlihat seperti lapangan tempat parkir. Meskipun terletak di dekat Kawasan Suku Baduy, namun sudah ada mini market dan sepanjang perjalananan pun jalan yang kami lalui cukup bagus.

Setiba di Ciboleger kami langsung disapa oleh Kang Arwan, salah seorang warga Suku Baduy Luar. Kami mendapatkan kontak beliau dari salah satu kerabat yang sudah pernah mengunjungi Kawasan Suku Baduy. Setelah itu kami di antar langsung ke rumah beliau tempat kami menginap. Ternyata permukiman Suku Baduy tak jauh dari Ciboleger, kurang lebih berjalan kaki 5 menit kami sudah sampai di rumah Kang Arwan. Ketika hendak memasuki Kawasan Suku Baduy terdapat sebuah gapura penanda. Bayangan kami semula bahwa masyarakat Baduy hidup jauh dari keramaian, belum tersentuh teknologi, dan tinggal di daerah terpencil. Namun anggapan kami salah karena faktanya Suku Baduy, terutama Baduy Luar hidup berdampingan masyarakat. Sebelum memasuki Gapura Baduy Luar banyak rumah-rumah warga. Bahkan ada Sekolah Dasar dan fotocopy. Perbedaan yang mendasar antara rumah warga dan Suku Baduy adalah rumah yang digunakan Orang Baduy terbuat dari kayu dan bambu, selain itu rumah mereka juga tidak dialiri listrik, sesuai dengan adat mereka. Tetapi Kantor Desa Kanekes yang terletak di kawasan permukiman Suku Baduy sudah dialiri listrik dan rumahnya sudah menggunakan tembok seperti pada umumnya. 

Sesampainya di rumah Kang Arwan kami langsung disuguhi Kopi Hitam. Kami berbincang-bincang mengenai kehidupan Suku Baduy. Dari informasi yang kami dapatkan, perbedaan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam yaitu pertama dari pakaian Baduy Dalam menggunakan Hitam Putih tanpa alas kaki. Sedangkan Baduy Luar menggunakan pakaian hitam dengan ikat kepala hitam bercorak biru, terkadang juga berpakaian seperti kebanyakan orang pada umumnya yaitu menggunakan kemeja, kaos, sendal, dll. Kedua rumah orang baduy luar menggunakan paku, terdapat perkakas seperti wajan, lemari, bahkan mereka sudah memiliki hanphone. Sedangkan rumah orang Baduy Dalam tidak menggunakan paku namun menggunakan tali untuk mengikat kayu atau bambu. Penggunaan perkakas pun tidak diperkenankan apalagi handphone.

Suasana Permukiman Baduy Luar
Kehidupan orang Baduy memang sederhana, namun penuh makna. Mereka pada umunya bertani, berkebun, berjualan, dan bagi perempuan Baduy mereka menenun. Dalam hal perdagangan, mereka pada umunya berjualan kain tenun, pakaian khas Baduy, kerajinan, durian, dan madu. Harga kain tenun mulai dari Rp. 20.000,- sampai Rp. 350.000,-. Pakaian berkisar Rp. 50.000- sampai Rp. 150.000,-. Kerajinan mulai dari Rp. 5.000,- sampai Rp. 200.000,- dan durian Rp. 20.000,-. Membeli durian di sini cukup unik. Jika dimakan disini, apabila durian yang dimakan tidak manis, maka pembeli tidak usah membayarnya. Perdagangan suku Baduy terbilang cukup maju. Walaupun secara kasat mata mereka tertutup dari pengaruh budaya luar, namun khususnya suku Baduy Luar mereka bahkan sudah berdagangan melalui media sosial dan mengirimkan dagangan mereka ke luar daerah, seperti ke Jakarta, Bandung, bahkan ke luar Jawa.

Anak-anak Baduy tidak mendapatkan pendidikan formal pada umumnya. Memasuki usia 8 tahun mereka sudah mulai bekerja membantu orang tua seperti membuat kain tenun dan mengangkut hasil bumi. Jarang sekali melihat anak Baduy yang bermain seperti kebanyakan anak usia mereka. Cita-cita mereka sederhana yaitu ingin membantu orang tua.

Setelah berbincang-bincang dengan Kang Arwan, kami disuguhi makan siang. Orang Baduy makan biasanya sangat sederhana. Sayur sop, tempe, dan ikan teri merupakan makanan mereka sehari-hari. Daging merupakan barang yang langka, meskipun mudah sekali di permukiman mereka menjumpai ayam.

Sehabis itu kami berjalan-jalan di sekitar permukiman Baduy Luar dan Ciboleger. Kesan mistis dan seram Suku Baduy tidak nampak oleh kami. Bahkan suasananya jauh dari hal-hal tersebut. Dari pagi hingga sore mudah sekali menjumpai pria dan anak laki-laki Baduy yang mengangkut durian. Sedangkan para perempuan menjaga rumah sambil menenun atau sekedar menjaga barang dagangan. Jalan di sepanjang kawasan permukiman Baduy Dalam tidak menggunakan aspal, hanya bebatuan dan tanah sehingga masih terlihat alami. Di malam hari pun tidak ada lampu penerangan baik di jalan maupun di depan rumah. Orang Baduy Luar biasanya menggunakan senter atau lampu minyak untuk penerangan di dalam rumah. Hal ini merupakan budaya yang sudah mereka jaga sejak dulu.

Pada saat hari menjelang malam, kami sempat mengunjungi rumah Kepala Desa Kanekes atau yang biasa disebut Jaro, yaitu Bapak Saija. Kami berbincang-bincang seputar adat istiadat dan budaya Suku Baduy, termasuk kepercayaan. Kami mendapat informasi seputar struktur adat baduy (yang dapat dilihat pada gambar di bawah). Selain itu, pada saat kami berkunjung bertepatan dengan bulan kawalu yang merupakan masa di mana wisatawan dilarang berkunjung sehingga kami tidak bisa mengunjungi Baduy Dalam. Larangan tersebut dikarenakan wisatawan yang berkunjung dapat mengganggu ritual mereka, namun wisatawan tetap bisa melihat Orang Baduy Dalam ketika mereka hendak keluar kampung. Kepercayaan yang dianut orang Baduy merupakan Sunda Wiwitan. Dari perbincangan dengan Pak Saija aku mendapatkan informasi bahwa secara substansial tidak berbeda jauh dengan ajaran Islam. Mereka mengakui Nabi Adam A.S. hingga Nabi Muhammad SAW. Mereka juga memiliki semacam “rukun Islam”. Yang menjadi pembeda adalah terkait upacara atau ritual beribadah.

Struktur Adat Baduy. (Sumber: x.detik.com)
Ketika matahari terbenam, kami kembali ke rumah Kang Arwan, tempat kami menginap. Kami langsung disuguhi makan malam. Setelah itu, kami berbincang-bincang kembali. Yang saya kagumi dari orang Baduy adalah bahwa mereka dilarang menyakiti sesama, bahkan memukul pun dilarang. Filosofinya adalah sebelum memukul orang lain, pukul dulu dirimu, apabila terasa sakit maka jangan dilakukan karena orang lain pun akan merasakan sakit. Orang Baduy, terutama Baduy Luar ternyata tidak seperti yang kami bayangkan, jauh dari peradaban. Bahkan katanya mereka juga banyak yang bisa mengemudi kendaraan. Tak jarang ada juga yang memiliki secara sembunyi-sembunyi. Untuk itu terdapat semacam inpeksi yang dilakukan oleh lembaga adat untuk memastikan masyarakat Baduy tidak melanggar adat. Apabila ketahuan melanggar akan terkena sanksi. Selain itu, Orang Baduy juga tidak mengenal pernikahan dengan orang luar Baduy. Memang terdapat orang yang menikah dengan orag luar Baduy, tapi pada akhirnya ia harus keluar dari Baduy. Selepas berbincang-bincang malam dengan Kang Arwan, kami langsung tidur, mengisi tenaga untuk keesokan harinya.

Hari kedua di Baduy, kami memutuskan untuk mengunjungi Kampung Gajeboh. Jaraknya kurang lebih 2-3 KM dari permukiman terluar Orang Baduy. Dari perjalanan ini kami ketahui bahwa permukiman Suku Baduy tersebar di beberapa tempat dengan jarak antar permukiman kurang lebih 500 meter. Jalan yang kami lalui merupakan perbukitan dengan medan naik-turun. Jalannya pun merupakan tanah alam. Dikarenakan kami berkunjung pada musim hujan, maka jalan yang kami lalui cukup licin. Di sepanjang perjalanan kami melihat hilir mudik Masyrakat Baduy yang mengangkut durian, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau orang dewasa. Kebanyakan dari mereka tidak menggunakan alas kaki alias nyeker. Namun tak jarang juga ada yang menggunakan sendal jepit dan terlihat ada anak lelaki yang menggunakan sepatu olahraga. Untuk menuju Gajeboh, dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam berjalan kaki. Kami disuguhi pemandangan berupa hutan belantara yang masih alami. Selain itu, terdapat beberapa permukiman Suku Baduy Luar yang kami lintasi. Permukiman Suku Baduy Luar memang terlihat sangat menjaga adat istiadat, mulai dari rumahnya, tanahnya, pola permukimannya. Namun mereka tidak menutup dari budaya luar yang tidak bertentangan dengan adat, seperti penggunaan telepon genggam, pakaian, perabotan, dll.


Warga Baduy Luar yang Mengangkut Barang Dagangan
Setelah berjalan selama kurang lebih satu jam, kami akhirnya tiba juga di Kampung Gajeboh. Tempat ini tidak ada bedanya degan permukiman Suku Baduy lainnya. Namun yang membedakan adalah di sini terdapat sungai yang tidak dijumpai di permukiman lainnya. Ada pula jembatan tradisional yang terbuat dari bambu. Sangat sederhana memang, namun mampu menampung 2-3 orang untuk dilintasi.
Setelah melintasi jembatan, kami berjumpa dengan Abah Nasindah, seorang warga Suku Baduy yang tampak sudah tua. Pertama kali saya lihat ia sedang bersama wisatawan lain yang mengajak untuk berfoto. Dia pun tampak mahir memainkan sebuah alat musik tradisional yang kemudian saya ketahui namanya adalah Let, sebuah alat musik tiup yang mirip dengan seruling namun ukurannya jauh lebih kecil.


Jembatan Kayu di Gajeboh

Abah Nasindah
Ketika wisatawan yang bersama Abah sudah pergi, saya pun menghampiri Abah untuk bercengkerama kemudian disusul oleh teman-teman yang lainnya. Kulitnya memang sudah kering termakan usia, namun ia masih memiliki ingatan yang cukup bagus untuk orang seusianya yang sudah memasuki 99 tahun. Ia bercerita bahwa dulu ia sering mengunjungi daerah-daerah lain, seperti Bali dan Yogyakarta. Ia orang yang sangat ramah. Bahkan memintaku untuk memainkan Let tersebut. Kami pun mengajaknya untuk berfoto bersama, sekedar untuk kenang-kenangan dan ia pun tidak berkeberatan. Kebersamaan kami terhenti ketika hujan datang. Abah langsung berlari menuju permukiman. Di usianya yang hampir 1 abad, ternyata Abah masih kuat untuk berlari. Kami pun ikut berteduh di permukiman warga untuk menunggu hujan reda. Setelah hujan reda kami memutuskan untuk kembali ke rumah Kang Arwan karena dikhawatirkan hujan akan turun kembali. Dan benar saja. Di tengah perjalanan ternyata hujan turun kembali. Saya yang memakai sandal jepit legendaris terpaksa berjalan paling lambat, bahkan harus melepas sandal karena medan yang terlalu licin. Ketika hendak memasuki permukiman Kang Arwan, kami mengunjungi salah satu rumah yang menjual barang dagangan khas Baduy. Saya membeli gantungan kunci, gelang, dan kalung yang tiap-tiap benda tersebut harganya Rp. 5.000,-. Selepas membeli barang khas Baduy, kami langsung pulang ke rumah Kang Arwan, makan, dan mandi untuk siap-siap pulang. Sebelum pulang, kami membeli durian di rumah Kang Arwan terlebih dahulu. Dan benar seperti yang saya bilang di awal, saya diharuskan membayar durian yang manis saja. Kami pun langsung menuju terminal Ciboleger untuk mencari elf yang hendak ke Rangkasbitung.

Ketika tiba di Ciboleger, kami cukup kecewa karena elf yang hendak kami tumpangi sudah pergi dan elf itu merupakan elf yang terakhir. Warga setempat bilang bahwa elf sudah berangkat 20 menit yang lalu. Kami pun ditawari untuk menyewa angkot untuk menuju ke Rangkasbitung. Awalnya sang calo memberitahu bahwa harga angkot untuk sekali sewa basanya Rp. 400.000,- namun karena kami keberatan membayar seharga uang tersebut, akhirnya setelah melalui negosiasi dengan sopir angkot kami menyewa angkot seharga Rp. 230.000,-.

Saat-saat yang paling tegang pun tiba. Ketika kami hendak menunggu angkot yang akan kami tumpangi, terjadilah gempa bumi sekitar pukul 13.30. Saat itu saya sedang duduk di sebuah minimarket, menunggu teman yang sedang membeli minuman. Namun saya tiba-tiba mendengar suara benda jatuh cukup keras dan ada seorang pria yang berteriak “gempa-gempa”. Sontak saya pun kaget dan langsung berlari ke tengah jalan, menuju area terbuka. Lokasi yang cukup dekat dengan pusat gempa membuat gempa kali ini berbeda dengan yang biasa saya rasakan. Terlebih ketika melihat genteng dan kaca bangunan seperti hendak rubuh. Gempa berlangsung kurang lebih selama 15-30 detik, disusul oleh gempa kedua dengan durasi yang hampir sama. Namun gempa kedua membuat patung Baduy rusak. Kurang lebih 5 menit setelah gempa, angkot pun datang dan kami langsung menaiki angkot menuju Rangkasbitung, khawatir ada gempa susulan.

Singkat memang liburan kami di tanah Baduy ini. Namun banyak sekali nilai yang berharga yang bisa kami pelajari. Mulai dari kesederhanaan dan kejujuran orang Baduy, ajaran untuk tidak menyakitu sesama manusia, menjaga keaslian dan kelestarian alam, hingga filosofi kepercayaan mereka. Saya sangat menganjurkan bagi teman-teman pembaca untuk suatu saat nanti mengunjungi tempat ini. Memang bukan tempat wisata yang mewah, namun percaya lah ada nilai berharga yang hanya bisa didapatkan di sini.

Bandung, 28 Januari 2018.
Previous Post
Next Post

0 komentar: