Sumber: bukalapak.com |
BAB 1
Aspek-Aspek Internasional
Demokratisasi
Laurence Whitehead
Seberapa
pentingkah faktor-faktor internasional mempengaruhi usaha-usaha
redemokratisasi? Motivasi-motivasi apa saja yang mendorong sejumlah
pemerintahan negara besar menyatakan “promosi demokrasi” sebagai suatu tujuan
penting dari kebijakan luar negeri mereka, dan realistiskah tuntutan-tuntutan
itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan sebagian dari pertanyaan yang
berkenaan dengan aspek internasional transisi dari otorianisme. Tidak ada
jawaban universal dan abadi untuk pertanyaan seperti itu. Transisi yang dikaji
pada proyek Wilson Center pada umumnya terjadi setelah 1945 dalam situasi
damai, kecuali transisi yang terjadi di Italia. Sejarah meningkatkan demokrasi
di luar negeri oleh Amerika Serikat, yang paling berkesan terjadi pada akhir
kemenangan pemerangan yaitu 1898, 1918, dan 1945.
Kasus-kasus
yang dipilih untuk kajian proyek Wilson Center tentang Transisi Pemerintah
Otoriter mengandung kesamaan karakteristik yang beragam. Kasus-kasus itu
memiliki orientasi yang cenderung berhaluan kanan, dan hampir semuanya
merupakan negara-negara yang memiliki tradisi politis yang mengandung unsur
liberalisme dan konstitusionalisme.
Dalam
diskursus resmi di Washington, London, Paris, dan Brussels, peningkatan
demokrasi merupakan tema yang sedang diangkat. Di waktu yang lebih baru,
retorika demokrasi telah sering dipakai sebagai kedok untuk mendukung
praktik-praktik yang kurang menyenangkan. Tidak mengherankan bahwa
pernyataan-pernyataan resmi yang mendukung demokrasi di tingkat abstrak
berkorelasi sangat lemah dengan perilaku empiris yang mempengaruhi
kepentingan-kepentingan spesifik dan hubungan internasional.
Sejumlah
kontras signifikan muncul antara pengalaman-pengalaman Amerika Utara dan Eropa
Barat. Pertama, semua pernyataan deklatatoris yang telah dikemukakan menegaskan
atau mengasumsikan sebuah model demokrasi tertentu yang menekankan kompetisi
elektoral antara partai-partai politik yang terbentuk secara bebas dan
mengagungkan kebebasan individu. Kedua, sebagaimana ditekankan O’Donnell dan
Shmitter dalam prestasinya tentang aspek-aspek internal dari proses transisi
bahwa pembedaan jelas perlu dilakukan antara liberalisasi dari rezim
otoritarian dan demokrasi penuh. Ketiga, terdapat aspek pusat-periferi dari
semua hubungan internasional yang diamati.
Motivasi
paling sederhana dan mendasar bagi promosi demokrasi adalah untuk memperluas
bagi orang-orang di luar negeri mengetahui manfaat dari sistem yang sangat
dihargai di dalam negeri. Rakyat negara-negara demokratis yang telah mapan
sangat percaya akan superioritas, baik secara moral dan praktis terkait bentuk
pemerintahan mereka, dan sebagian besar akan sulit meragukan bahwa dunia akan
lebih baik jika menggunakan sistem yang sama dengan negara mereka. Mengingat
demokrasi politik terselenggara sangat mapan di hampir semua negara maju di
Amerika Serikat dan Eropa Barat, hal ini menjadi motivasi bahwa demokrasi menjadi
sebuah pertimbangan untuk diselenggarakan di negara lain.
Perbedaan
dasar antara pemerintahan Amerika Serikat dan Eropa Barat dan sejarah,
geopolitism dan keragaman struktur politik yang berbeda. AS membuktikan bahwa
dirinya telah berhasil dalam menjalankan demokrasi internal dan supremasi
internasional tentang pengimplementasian demokrasi melalui kekuatan bersenjata,
secara berulang kali. Sedangkan Eropa Barat memiliki sejarah demokrasi yang
tidak beraturan. Kejayaan Eropa tradisional berkaitan dengan kerajaan kolonial
dibanding kebebasan individu. Untuk memahami kebijakan Eropa Barat dan
perbedaannya dengan AS merupakan hal yang penting untuk mempertimbangkan
kekuatan-kekuatan politik yang mendasar dan opini tentang respon dari
pusat-pusat kekuasaan.
Semasa
kepresidenan Truman, Kennedy, dan Carter terdapat upaya untuk melawan kekuatan
anti-demokrasi di Amerika Latin, namun sering kali upaya tersebut dihalau oleh
desakan untuk melawan Kounisme dan oleh sebab itu, AS mempersatukan
kekuatan-kekuatan anti-komunis. Dua kekuatan yang menampilkan diri sebagai
ancaman demokrasi di Amerika Latin yaitu fasisme, yang sebagian besar
mengadopsi ideologi Nazi dan komunisme
Secara
ringkas, sikap Eropa dan Amerika mengenai promosi demokrasi berbeda dikarenakan
warisan fasisme Eropa. Eropa lebih menekankan demokrasi pada partisipasi sosial
dan ekonomi, sedangkan Amerika memberi tekanan yang lebih eksklusif pada aspek
elektoral.
Keragaman
metode telah tersedia untuk mempromosikan demokrasi, seperti pakta-pakta
internasional, diplomasi-diplomasi, insentif ekonomi, paket bantuan, serta
berbagai aktivitas organisasi non-pemerintah seperti SI, ODCA, dan gereja.
Namun, banyak dari metode-metode tersebut memiliki efek yang tak pasti, tidak
konsisten, dan sulit diterapkan untuk waktu yang lama. Sebagai contoh, metode
yang digunakan melawan Franco saat masa pemerintahan Franco adalah pengucilan
dari PBB dan dari bantuan Marshall, penutupan wilayah, dukungan resmi dan
pengakuan terhadap pemerintahan oposisi. Pada November 1952, dalam upaya
menggalang persatuan anti-komunis semasa perang Korea, AS mempengaruhi
mayoritas anggota PBB untuk menarik resolusi anti-Franco 1946. Kemudian Spanyol
bergabung dengan PBB tak lama setelah itu, pada 1953, Spanyol menandatangani
kerja sama bilateral dengan AS untuk pertukaran bantuan ekonomi dengan pangkaln
militer
Pada
Mei 1949, negara-negara demokratis Eropa Barat mendirikan Majelis Eropa dalam
upaya menuju unifikasi politik, namun gagal. Pakta Roma 1957, melahirkan
Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC/MEE) dan menawarkan kepada negara-negara
demokratis Eropa jalan lebih jauh menuju integrasi. Hanya negara-negara yang
menjamin praktik-praktik demokratis murni dan penghargaan atas hak dan
kebebasan fundamntal di atas wilayah-wilayah mereka yang dapat menjadi anggota
Masyarakat Ekonomi Eropa. Meskipun sasaran utamanya adalah Spanyol di bawah
diktator Franco, namun hal tersebut juga berhasil dalam upaya menyisihkan
Salazar di Portugal, dan Yunani di bawah rezim Kolonel.
MEE
adalah sebuah komunitas ekonomi yang diperintah oleh aturan-aturan kaku dan
kewajiban-kewajiban mengikat berdasarkan pakta yang meminimalkan pelaksanaan
kebijakan politik. Sebagai akibatnya, masyarakat menetapkan sebuah pola imbalan
dan hukuman stabil yang sulit diharapkan oleh para pembuat kebijakan di Eropa
Selatan untuk diberlakukan secara berbeda-beda. Satu aspek yang mungkin
menentukan sebagai insentif bagi demokratisasi yang ditawarkan Masyarakat Eropa
adalah jaminan dan penegasan yang dapat disediakannya pada kalangan konservatif
dan kelas atas dalam masyarakat Eropa Selatan yang paling mungkin merasa
terancam oleh pemerintahan rakyat.
Pemerintah
AS telah menawarkan imbalan-imbalan ekonomi dan politik untuk mendorong
negara-negara Amerika Latin ke dalam jalur demokratis, namun bila kita dapat
mengecualikan secara khusus Puerto Rico, insentif-insentif ini tidaklah begitu
stabil, dapat diramalkan, berjangka-panjang dan impersonal. Untuk menghasilkan
sebuah efek konsisten, beragam instrumen harus dikoordnasikan, yang
mensyaratkan kooperasi dari berbagai agen dengan beragam kepentingan dan
persepsi.
Diskusi
tentang penataan pakta, paket bantuan, dan diplomasi resmi mencakup rentangan
metode-metode langsung yang tersedia bagi pemerintah-pemerintah yang berhasrat
untuk mendukung redemokratisasi. Namun, terdapat pula metode-metode lain yang
dapat digunakan oleh organisasi non-pemerintah. Di sini kita perlu
mempertimbangkan aktivitas-aktivitas dari parta-partai Socialis International
(SI).
Sampai
Perang Dunia II, Second International (pendahulu Socialis International),
secara ekskulsif terdiri dari parta-partai Eropa. Sebagian eksklusivitas ini
merupakan refleksi dari peran politik dan ekonomi Eropa di dunia, namun itu
juga merefleksikan keberlakuan teori-teori sosial dan bahkan prasangka Eurosentris.
Sesudah 1945 cara pandang semacam ini tak lagi dapat dipertahankan. Di
tahun-tahun awal pasca perang, banyak sosialis Eropa Barat memandang dengan
penuh harap ke arah Eropa Timur. Baik Comintern (Komunis Internasional) maupun
Second International secara formal dibubarkan, dan upaya-upaya dilakukan oleh
partai Sosialis Demokratis kuat di bawah kontrol Uni Soviet.
Dalam
satu tahun sejak pendiriannya tahun 1951, SI melaporkan pendaftaran diri untuk
bergabung dari partai-partai di tiga puluh enam negara, termasuk Argentina,
Jamaica, dan Uruguay. Pada Oktober 1955 (setelah penumbangan Peron di
Argentina), Biro SI memutuskan untuk mendirikan sebuag sekretariat di Amerika
Latin di Montevideo, dan pada Mei 1956 mereka menyelenggarakan konferensi
partai-partai Sosialis Amerika Latin pertama, yang mengutuk “kebijakan dominasi
Partai Republik AS melalui Departemen Luar Negeri dan yang telah membawa
supremasi kediktatoran dan kemiskinan di Amerika Latin.
Pada
Mei 1958, konferensi ketiga berlangsung di Santiago dengan kondisi yang jauh
membaik. Konferensi ini mendorong
pemerintah-pemerintah demokratis untruk memutuskan hubungan dengan
kediktatoran Paraguay dan Kuba. Pada 1958, SI berada pada puncak gelombang. Terdapat
pemilihan demokratis di Brazil, Chili, Uruguay, dan Venezuela, di mana partai
yang memiliki hubungan dengan SI memperoleh suara yang mengesankan. Tahun 1959,
terjadi pergolakan di Kuba, di mana Castro berhasil meraih kursi kepresidenan
melalui gerakan bersenjata. Awalnya, Castro menjanjikan pemerintahan
konstitusional, serta humanisme Sosialis yang konsisten dengan doktrin-doktrin
SI. Namun, dalam dua tahun, Revolusi Kuba bergerak menuju ke arah
Marxisme-Leninisme.
Sekitar
1960-an SI mengambil sejumlah langkah yang
membuahkan banyak hasil, namun itu terjadi di Eropa Selatan, bukan di
Amerika Latin. Setelah penggulingan Allende 1973, para pimpinan utama SI
bersama-sama menekankan perluasan Socialist International di luar Eropa,
khususnya di Amerika Latin, seperti Ekuador, Peru, Bolivia, Brazil, dan Mexico.
Pada 1979, SI siap mendukung Sandinista melawan dinasti Somoza. Namun SI hanya
dapat menerapkan pengaruh moderat terhadap Nikaragua di bawah Sandinista, di
mana dorongan untuk mengkonsolidasikan revolusi berbenturan dengan komitmen
untuk meghormati konvensi-konvensi demokratis. Di akhir 1984, SI masih mencari
jalan untuk mendorong pluralisme dan ketidakberpihakan di Nikaragua.
Demokratisasi
tak pernah mudah, dan prosesnya senantiasa mengandung resiko kegagalan,
meskipun bersatu, cakap, dan beruntungnya mereka yang memperjuangkannya.
Bagaimanapun pengalaman demokratisasi mutakhir di Eropa Selatan telah berhasil
dengan menakjubkan, berbeda dengan pengalaman di Amerika Latin. Perluasan upaya
demokratisasi oleh Eropa Barat ke Amerika Latin akhir-akhir ini membawa Eropa
ke dalam wilayah di mana mereka memiliki kapasitas jauh lebih rendah untuk
mengarahkan dan mengendalikan peristiwa. Namun, mengingat Amerika Serikat telah
begitu lama berhasil menggantikan pengaruh Eropa di wilayah Barat, persoalan
keamanan ataupun kerugian material yang diakibatkan perjuangan bagi demokrasi
di Amerika Latin jauh lebih memusingkan Amerika ketimbang Eropa. Terdapat
keserupaan di sini antara keterlibatan terbatas Eropa dewasa ini di wilayah
Amerika Latin, dengan postur pra-perang Amerika Serikat tatkala beroperasi di
dalam wilayah pengaruh dan mantan kekuasaan imperial Eropa.
Kita
dapat membedakan tiga komponen “promosi demokrasi?, yang masing-masingnya
memiliki persyaratan berbeda-beda. Pertama, terdapat tekanan pada
pemerintah-pemerintah tidak demokratis untuk mendemokratisasikan diri. Kedua, terdapat
dukungan bagi calon negara demokratis yang berupaya untuk mengkonsolidasikan
diri. Ketiga, terdapat pemeliharaan pendirian yang kokoh untuk menenang kekuatan-kekuatan
anti-demokratis yang mengancam atau menggulingkan pemerintah demokrasi yang
telah mapan.
BAB 2
Sejumlah Masalah dalam Studi Transisi
Menuju Demokrasi
Adam Przeworski
Studi-studi
terhadap transformasi rezimcenderung dapat digolongkan kedalam dua tipe besar.
Sejumlah berorientasi-makro, memeusatkan diri pada kondisi-kondisi objektif dan
bicara dalam bahasa deterministic. Yang lain cenderung mengkonsentrasikan
perhatian pada para actor politik dan strategi-strategi mereka menekankan kepentingan
dan persepsi, dan memformulasikan persoalandalam konteks
kemungkinan-kemungkinan dan pilihan-pilihan. Studi-studi ini menunjukkan bahwa
demokrasi adalah secara tipikal sebuah konsekuensi dari pembangunan ekonomi,
transformasi struktur kelasa, peningkatan pendidikan, dan semacamnya.Studi-studi
berorientasi-mikro, ditempatkan dalam arus pendekatan karya-karya Marx mengenai
Perancis 1848 dan 1851 seperti juga analisa-analisa Juan Linz mutakhir mengenai
kejatuhan rezim-rezim demokratis, cenderung untuk menekankan perilaku strategis
para actor politik dalam berbagai situasi historis. Kondisi-kondisi objektif
memang membatasi kemungkinan-kemungkinan inheren di dalam situasi historis
tertentu dan, karena itu, kondisi-kondisi tersebut memang krusial. Berikut
beberapa kondisi dimana keselamtan rezim otoritarian dapat terancam. Empat
jenis factor seringkali dikedepankan untuk menjelaskan mengapa keretakan mulai
muncul dalam rezim otoritarian dan liberalisasi:
- Rezim otoritarian telah menyadari kebutuhan fungsional yang dulu membawa pada pendirinya. Dengan demikian, ia tak lagi dibutuhkan (atau bahkan dimungkinkan), dan ia jatuh.
- Rezim, untuk satu dan alasan lain, dengan salah satu kemungkinan alasan adalah (1) kehilangan legitimasi, dank arena taka da rezim yang dapat bertahan tanpa legitimasi (dukungan, prsetujuan diam-diam, kepatuhan), terdisintegrasi.
- Konflik dalam blok yang memerintah, terutama dalam militer, untuk satu dan lain alasan, dengan satu kemungkinan alasan adalah (2) tak dapat merekonsiliasikan diri secara internal, dan sejumlah faksi memutuskan untuk menarik dukungan kelompok-kelompok luar. Dengan demikian, blok memerintah terdisintegrasi qua blok.
- Tekanan asing untuk “mengenakan wajah demokratis” yang membawa pada kompromi-kompromi, mungkin melalui mekanisme (3)
Teori
“hilangnya legitimasi” adalah sebuah teori transormasi rezim “atas” dalam arti
bahwa itu mempostulasikan bahwa rezim pertama-tama kehilangan legitimasi dalam
masyarakat sipil hanya bila kehilang ini dimanifestasikan dan dikenali dengan
cara itu sebagai kehilangan blok yang berkuasa akan memberi respon. Teori
tersebut mangatakan: (1) setiap rezim membutuhkan “legitimasi”, “dukungan”,
atau paling tidak “persetujuan tanpa protes” agar dapat bertahan; (2) bila
rezim kehilangan legitimasi, ia harus mereproduksinya atau ia akan jatuh. Saya
akan segera mengklaim bahwa, di bawah setiap definisi legitimasi nontautologis
manapun, teori ini salah.
Satu
kendala bagi pemahaman proses liberaisasi dan demokratisasi adalah kesulitan
untuk mengidentifikasi pada dasar a priori para actor yang relevan bagi proses
ini. Satu cara untuk mendekati persoalan ini adalh dengan memulai dengan
kepentingan-kepentingan, dan mengklarifikasikan kelompok-kelompok dengan
menghubungkan pada mereka berbagai kepentingan yang dapat diduga akan mereka
pertahankan dan perjuangkan tatkala menghadapi konflik. Pendekatan lain adalah
dengan membedakan para actor secara langsung melalui postur-postur strategis
mereka.
Struktur
kepentingan secara keseluruhan yangterlibat dalam transisi menuju demokrasi
adalah angkatan bersenjata memiliki kepentingan dalam memelihara otonomi
korporat mereka, kaum borjuasi dalam memelihara kepemilikan sarana produksi dan
otoritas mereka untuk mengarahkan produksi, aparatur Negara, terutama para
teknokrat dan polisi, dalam keselamatan fisik dan ekonomi pokok. Kelas pekerja
berkepentingan untuk mampu mengorganisir diri untuk memperjuangkan
tujuan-tujuan ekonomi dan politik mereka, kelompok-kelompok rakyat lain mungkin
memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi lebih sempit.
Transisi
dari system otoritarian ke demkratis sebagai terdiri dari dua proses yang
simultan namun untuk derajat tertentu otonom: proses disintegrasi rezim
otoritarian, yang seringkali mengambil bentu “liberalisasi”, serta proses
kebangkitan institusi-intitusi demokratis. Demokrasi adalah sebuah system
tertentu pemrosesan dan pengakhiran konflik-konflik antar kelompok. System ini
memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari penataan-penataan
politik lainnya:
- Kehadiran dan pengorganisasian kepentingan-kepentingan yang bersaingan secara eksplisit dikenali sebagai ciri politik yang permanen.
- Konflik diproses dan diakhiri mengikuti aturan-aturan yang ditentukan a priori, eksplisit, secara potensial dikenal oleh semua partisipan, dan dapat diubah hanya melalui aturan.
- Sejumlah alur tindakan dikecualikan sebagai strategi-strategi yang diterima.
- Sebagaimana di system manapun, demokrasi merupakan rangkaian hubungan stabil anatara tindakan-tindakan kelompok-kelompok tertentu dan efek-efek dari tindakan-tindakan ini terhadap mereka.
- Mengingat masing-masing partisipan (individual dan kolektif) memiliki pilihan strategi, dan semua strategi tidak mengarah pada hasil yang sama, hasil dari berbagai konflik dalam demokrasi untuk derajat tertentu tak dapat ditentukan (indeterminate) melalui posisi-posisi yang ditempati para partisipan dalam semua hubungan social, termasuk hubungan-hubungan produksi.
- Hasil-hasil konflik demokratis tidaklah sekadar tidak dapat ditentukan dalam batas-batas. Mereka sangat tak menentu.
Reformasi
pada dasarnya adalah modifikasi pengorganisasia konflik yang mengubah
probabilita untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan kelompok dengan sumber
daya yang ada. Tiga aspek demokrasi yang krusial bagi proses transisi. Pertama,
demokrasi adalah bentuk institusionalisasi konflik berkelanjutan. Kedua,
kapasitas kelompok-kelompok untuk mewujudkan kepentingan mereka dibentuk oleh
penataan institusional spesifik dari sitem. Akhirnya, kendatipun kapastitas
hadir secara apriori, hasil konflik tidaklah secara unik ditentukan baik oleh
penataan institusional maupun oleh tempat-tempat yang dihuni partisipasipan di
dalam system produksi.
Kita
tidak dapat menghindari kemungkinan bahwa sebuah transisi menuju demokrasi
dapat dijalankan hanya dengan biaya membiarkan hubungan-hubungan ekonoi tetap
tak tersentuh, tak hanya struktur produksi namun bahkan juga distribusi
peghasilan. Kebebasan dari kekerasan fisik adalah sama mendasarnya dengan
kebebasan dari elaparan, namun sayangnya rezim-rezim otoritarian seringkali
menghasilkan romantisasi model demokrasi terbatas sebagai kontraksi. Demokrasi
yang terbatas dengan eksploitasi dan penindasan ditempat kerja, dalam
sekolah-sekolah, dalam birokrasi, dan dalam keluarga. Perjuangan bagi kekuasaan
politik dibutuhkan karena tanpa itu semua upaya untuk mentranformasikan
masyarakat adalah rentan terhadap penindasan brutal. Apa yang kita butuhkan,
namun tak kita milki, adalah projek anti otoritarianisme ideologis yang komprehensif
dan integral yang akan mencakup totalitas kehidupan sosial.
BAB 3
Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi:
Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif
Alfred Stepan
Pada landasan abstrak dan historis
kita dapat mengajukan delapan jalur yang saling berbeda menuju pelenyapan
rezim-rezim otoriter dan proses redemokratisasi. Tiga jalur pertama adalah
jalur-jalur di mana peperangan dan penaklukan memainkan bagian integral dalam
proses redemokratisasi. Perimbangan antara kekuatan demokratis sebelumnya,kesatuan
dan perpecahan politik dari negara yang ditaklukkan, dan peran
kekuatan-kekuatan eksternal dalam proses redemokratisasi dapat cukup berbeda
sehingga kita dapat mengidentifikasi adanya tiga kategori terpisah: (1)
pemulihan internal seusai penaklukan kembali eksternal; (2) reformulasi
internal; (3) penegakan yang dipantau secara eksternal. Dalam kategori pertama,
pemusnahan rezim otoritarian dan gerak ke arah redemokratisasi dapat
diprakarsai oleh pemegang kekuasaan otoritarianisme sendiri.
Penguasa otoritarian dapat mencoba
untuk melepaskan tekanan terhadap diri mereka seraya pada saat yang sama
memelihara sebanyak mungkin kepentingan melalui: (4) redemokratisasi yang
diprakarsai dari dalam rezim otoriter. Jalur ini memiliki 3 sub-corak yang
dibedakan oleh basis institusional khas dari kelompok berkuasa di dalam rezim
otoriter, yaitu (4a) kelompok pemrakarsa dapat ditarik dari kepemimpinan
politik yang disipilkan; (4b) militer sebagai pemerintah; (4c) militer sebagai
institusi yang bertindak sebagai militer sebagai pemerintah ataupun sebagai
kepemimpinan politik yang disipilkan.
Dalam kategori terakhir,
kekuatan-kekuatan oposisi memainkan peran utama dalam mengakhiri rezim otoriter
dan dalam menatakan atau tidak menatakan kerangka bagi redemokratisasi.
Rute-rute oposisional berikut ini tampak sebagai yang terpenting: (5)
pengakhiran rezim yang dipimpin masyarakat; (6) pakta partai; (7) pemberontakan
dengan kekerasan terorganisir yang dikoordinasikan oleh partai-partai reformis
demokratis; (8) perang revolusioner yang dipimpin Marxis.
Pemulihan internal seusai penaklukan
kembali eksternal berarti bajwa redemokratisasi berlangsung tatkala sebuah
kekuatan demokrasi yang telah ditaklukkan dalam perang kembali memulihkan
demokrasi setelah pihak penakluknya dikalahkan oleh kekuatan eksternal. Semakin
positif jawaban semua pertanyaan, semakin kecil kemungkinan bahwa pemulihan
(Jalur 1) dimungkinkan dan semakin besar kemungkinan bahwa reformasi internal
(Jalur 2) atau bahkan penegakan yang dipantau secara eksternal (Jalur 3) yang
akan lahir.
Dalam kategori reformulasi internal redemokratisasi
berlangsung seusai pihak penakluk dikalahkan terutama akibat kekuatan
eksternal. Namun demikian, semakin keadaan-keadaan internal menyebabkan
jatuhnya rezim demokratis sebelumnya, atau rezim sebelumnya dipandang memiliki
andil dalam penaklukan, atau terdapat dugaan mengenai kolaborasi, atau gerakan
pemberontakan berkekuatan besar yang tak terkait atau bertolak belakang dengan
kepemimpinan demokratis sebelumnya muncul dan berkembang, atau
perubahan-perubahan mendasar muncul semasa pendudukan, maka: semakin tidak
mungkin pemulihan sederhana dari sistem demokratis sebelumnya dilangsungkan,
dan semakin besar kemungkinan redemokratisasi akan diikuti oleh reformulasi konstitusional
yang mendalam.
Kategori penegakan yang dipantau
secara eksternal mencakup kasus-kasus di mana kekuatan-kekuatan demokratis luar
negeri mengalahkan sebuah rezim otoriter dan memainkan peran utama dalam
formulasi da penegakan sebuah rezim demokratis. Kelemahan jalur ini adalah
adanya unsur tekanan dari luar negeri. Ini mengandung persoalan keabsahan yang
tak ditemukan di jalur pertama. Namun, itu memiliki kesamaan dengan jalur
revolusioner, yang akan digambarkan kemudian, dalam hal adanya kekuasaan untuk
membongkar institusi-institusi militer dan politik dan unsur-unsur lain dari
aparatur negara otoriter.
Redemokratisasi
yang diprakarsai dari dalam Rezim Otoritarian ini memiliki paling tidak tiga
kendala karakteristik dan permasalahan-permasalahan yang dapat diramalkan yang
harus memperoleh perhatian. Pertama, pemegang kekuasaan dapat berupaya untuk
membalikkan keputusan liberalisasi awal mereka, bila pembukaan sistem politik
menyumbang pada situasi di mana biaya toleransi adalah jauh lebih besar
daripada biaya represi. Kedua, pemegang kekuasaan dapat berupaya untuk
mengkonstruksi aturan-aturan main formal dan informal yang menjamin berbagai
kepentingan inti mereka bahkan dalam konteks rezim demokratis yang
menggantikannya, dan dengan demikian menghasilkan sekadar demokrasi terbatas.
Ketiga, dan lebih dari jalur lain manapun, aparatur keamanan dari rezim
otoritarian dapat berupaya untuk mempertahankan berbagai prerogratif mereka
secara utuh.
Redemokratisasi
yang diprakarsai oleh pimpinan politik sipil atau disipilkan. Apa implikasi
dari jalur ini bagi kebijakan dan stabilitas demokratis? Hal pertama yang harus
dipertimbangkan adalah bahwa bahkan tatkala pimpinan sipil atau disipilkan
memegang kendali aparatus negara, militer-militer sebagai institusi tetap
merupakan faktor yang memiliki kekuasaan yang berarti. Dengan demikian pimpinan
sipil paling mungkin bertahan dalam inisiatif redemokratisasinya bila oposisi
demokratis secara cerdik berkolaborasi dengan pemerintah dalam menciptakan
kerangka damai bagi transisi.
Dalam
redemokratisasi yang diprakarsai militer sebagai pemerintah, dorongan utama
bagi pengakhiran rezim datang dari para pimpinan individual pemerintahan
militer. Mengingat kebanyakan rezim otoriter modern adalah rezim militer, ini
nampak sebagai sebuah jalur yang relatif aman. Namun demikian, yang penting
ditekankan di sini adalah bahwa bila tidak dirasakan sebagai kebutuhan bagi
militer sebagai institusi korporat untuk melepaskan diri dari kekuasaan, dan
bila tak terdapat tuntutan masyarakat atas pengakhiran rezim otoriter, ini
merupakan jalur yang penuh resiko. Upaya redemokratisasi mungkin berlangsung
sulit akibat penolakan institusional militer, sehingga tak terjadi peralihan
kekuasaan.
Demokratisasi
yang dipimpin oleh militer sebagai institusi adalah sebuah kategori yang khas.
Bila militer sebagai institusi berniat untuk mengembalikan demokrasi dalam
rangka melindungi kepentingan-kepentingan korporat fundamental mereka, ini akan
merupakan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat bagi pengakhiran pemerintahan
otoriter. Rezim-rezim otoriter tidak seperti rezim monarki, tak mensyaratkan
dukungan yang sangat aktif. Apati dan kepatuhan tanpa suara sudah cukup bagi
mereka untuk berdiri. Ketiadaan dukungan sipil harus sedemikian rupa ditransformasikan
ke dalam biaya nyata atau ancaman langsung pada militer sebagai institusi.
Pengakhiran
rezim dipimpin masyarakat. Kata kunci di sini adalah “dipimpin masyarakat”,
sebagai berbeda dari transformasi rezim otoritarian yang diprakarsai partai,
pakta ataupun yang dilakukan secara revolusioner. Dalam teori, transformasi
semacam itu dapat diselenggarakan melalui protes tersebar dari berbagai
organisasi akar rumput, gelombang pemogokan umum yang masif namun tak
terkoordinasi, dan oleh penarikan dukungan secara besar-besaran terhadap
pemerintah. Namun, melalui analisa, ini lebih merupakan jalur menuju perubahan
pemerintahan kerimbang jalur menuju demokratisasi penuh.
Dalam
teori pakta partai, terutama dalam bentuk konsosiasionalnya yang diperbesar,
akan nampak sebagai sangat menarik bagi strategi-strategi redemokratisasi.
Pertama, konstruksi pakta semacam itu membantu mengikis basis rezim otoriter,
terutama bila rasionale bagi rezim otoriter adalah sebuah konflik. Kedua, itu
membantu menggelarkan landasan bagi rezim demokratis pengganti dengan
formula-formula terperinci mengenai pembagian kekuasaan, veto bersama dan
koalisi besar.
Pemberontakan
dengan Kekerasan Terorganisir yang Dikoordinasikan Partai-partai Reformis
Demokratis
Pada tataran teoritis, jalur ini
tampak sebagai memiliki sejumlah kelebihan bagi proses redemokratisasi.
Mengingat pemberontakan melawan otoritarianisme memiliki basis partai, partai
tersebut dapat menyediakan arah politik berkelanjutan yang tak tersedia bagi
jalur yang dipimpin masyarakat yang tersebar. Ini politiknya adalah kekuatan
yang memiliki komitmen pada demokrasi dan yang kemungkinan sekutu politik
internal bagi potensialnya datang dari kekuatan-kekuatan demokratis.
Jalur
perang revolusioner dipimpin Marxis memiliki potensi yang secara teoretis
diramalkan terbesar bagi perubahan sosio-ekonomis mendasar karena
kekuatan-kekuatan revolusioner merenggut kekuasaan hanya sesudah mengalahkan
aparatus negara dan sektor penertiban sosial diganti tanpa menunggu hasil
pemilihan umum. Dalam teori, kekuatan-kekuatan revolusioner juga memiliki
ideologi dan basis sosial yang suportif terhadap perubahan mendasar. Secara
teoretis, terdapat ruang bagi rekonstruksi Marxis revolusioner yang demokratis.
Namun, tradisi doktrinal dan organisasional Leninisme revolusioner, yang
merupakan revolusioner modern yang paling efektif dan bergengsi, menolak dua
persyaratan definisi minimalis demokrasi politik (hak yang tak terkekang secara
relatif untuk mengorganisir dan hak yang tak terkekang secara relatif untuk
membuka persaingan.
BAB 4
Liberalisasi dan Demokratisasi di
Amerika Selatan: Perspektif dari 1970-an
Robert R. Kaufman
Seperti
telah dicatat “Interasionalisasi” ekonomi substitusi-impor tahap lanjut di
Amerika Latin menyediakan tatanan historis-struktural utama bagi analisa
dimensi-dimensi sosio-ekonomi dari transformasi ini, yang telah secara luas
didiskusikan dalam banyak literatur mengenai wilayah yang memiliki ciri-ciri utamanya yang
mencakup: peningkatan ketergantungan pada kredit dan teknologi eksternal
swasta; perluasan ekspor beragam produk primer dan manufaktur “nontradisional”;
dan dalam struktur sosial domestik, kebangkitan berbagai oligopoli
transnasional-bank, firma industrial, dan agribisnis sebagai kutub-kutub utama
baru bagi akumulasi dan pertumbuhan.
Implikasi
politik dari berbagai transformasi ini,
secara ilmiah sulit untuk diketahui dengan pasti. Apakah itu dapat menghasilkan
perubahan rezim otoritarian tergantung pada konfigurasi nasional spesifik dari
struktur institusional dan koalisi kelas dan pada cara itu diorganisasikan dan
diartikulasikan pada titik “konjungtur” kritis dari pembangunan nasional. Cardoso
dan Faletto berargumentasi bahwa
bentuk-bentuk kontemporer “pembangunan tergantung“ ini telah menghasilkan
perubahan-perubahan bercakupan luas dalam pengorganisasian kekuasaan politik
mendasar yang nampaknya membenamkan prospek-prospek demokrasi: pelemahan
koalisi nasional-populis; penggantian atau kooptasi elis-elit wiraswastawan
lokal; konsentrasi penghasilan; dan kebangkitan konstelasi baru
kepentingan-kepentingan negara dan oligopolis yang berupaya untuk melindungi
diri dari gelombang tekanan dan ketidakpastian dari politik elektoral massa.
Serangkaian
proposisi mengenai dampak
kekuatan-kekuatan tersebut dapat dipandang sebagai blok-blok bangunan yang
dapat dipertahankan bagi analisa dalam bagian-bagian berikut:
- Pergeseran ke arah model-model pembangunan internasionalis telah meningkatkan tekanan pada negara-negara lokal untuk memprakarsai dan berhadapan dengan resistensi politik dari kelompok-kelompok: sektor menengah, nasionalis dan serikat pekerja berpengaruh kepada kebiakan-kebijakan ekonomi yang relatif “ortodox” yang lebih serasi dengan norma-norma sistem kapitalis dunia.
- Peningkatan konsentrasi penghasilan juga merupakan sebuah ciri konsisten dari model-model pembangunan internasional
- Sebuah perbandingan lintas-bangsa dari kebanyakan negara maju di wilayah itu menunjukkan bahwa kecenderungan bagi konflik-konflik mengenai berbagai isu tersebut untuk terangkat pada “tingkat krisis” bervariasi langsung dengan kekompetitifan sistem politik.
- Respons birokratik-otoriter terhadap krisis-krisis ini dapat dipahami sebagai proses eksklusioner, di mana pemerintah-pemerintah militer-teknokratis, didukung oleh koalisi kepentingan-kepentingan kapitalis, militer, dan kelas menengah, berupaya untuk menyingkirkan kekuatan-kekuatan populis dan radikalisme dari sistem politik dan untuk merekonstruksi landasan sosio-ekonomi masyarakat sipil.
Politik
liberalisasi secara logis terbagi ke dalam dua isu terpisah, pertama,
kondisi-kondisi apa yang menyebabkan persoalan liberalisasi bergerak ke dalam agenda politik? Kedua,
dalam keadaan-keadaan apa pertarungan-pertarungan semacam itu memperoleh
momentum yang dapat menghasilkan transfer otoritas kepada rezim-rezim sipil
terpilih? Bagian ini memberikan sebuah kerangka bagi analisa isu-isu ini dalam
paling tidak lima situasi pemerintahan birokratik-otoritarian.
Kematian
pemerintahan birokratik-otoritarian dapat dipahami sebagai produk dari corak
perubahan di dalam hubungan-hubungan ini, yang masing-masingnya dapat dipandang
sebagai komponen esensial proses liberalisasi secara keseluruhan. Pertama,
peredaan ketakutan dan kedaruratan yang semula dirasakan. Kedua, upaya oleh
pemerintah birokratik-otoritarian untuk memperluas jalinan-jalinan mereka pada
masyarakat sipil dengan mentolerir peluang-peluang institusional dan politik
lebih luas bagi ‘persaingan publik’. Ketiga, terdapat pembentukan oposisi
liberalisasi dipimpin atau didukung oleh sejumlah kelompok sektor menengah yang
semula mendukung kudeta birokratik-otoritarian.
Begitu koalisi otoriter terpecah, peluang-peluang
apa yang ada bagi pembentukan (kembali) sistem demokratis yang layak hidup? Pertama, ‘demokratisasi’
mengimplikasikan gerakan ke arah sistem politik yang dicirikan oleh pemilihan
kompetitif, kebebasan sipil, dan toleransi terhadap “oposisi loyal”. Kedua,
bahwa formulasi poliarki mensyaratkan, paling tidak dalam periode
pembentukannya, akomodasi dengan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang
masih kokoh yang melandasi tatanan otorite sebelumnya: tak hanya jajaran
militer namun juga sektor bisnis transnasional.
Mengingat
‘persyaratan-persyaratan akumulasi’ ini, bagaimana peluang bagi sebuah sistem
yang dibangun melalui pemilihan umum untuk menhindari corak-corak krisis yang
sebelumnya membawa pada pemaksaan pemerintah birokat-otoritarian? Trauma represi
birokratik-otoritarian itu sendiri nampak memperendah harapan sejumlah ‘sektor rakyat’ yang tersisih
beserta para pimpinan politik. Mereka
menjadikan dirinya cenderung mendukung kompromi-kompromi yang membatasi
diri dalam isu-isu ekonomi. Bisnis Internasional mungkin bersedia untuk
menerima politik elektoral, mereka tak akan mentoleransi gerakan politik
berkekuatan yang secara terang-terangan mengancam kepentingan-kepentingan dasar
mereka dalam mengontrol tempat kerja maupun kapasitas untuk mengakumulasi
keuntungan di dalam ekonomi berbasiskan pasar.
Peluang
keberhasilan mereka akan maksimal bila mereka memilkii strategi-strategi
pembangunan koalisi realistis yang mengantisipasi sejumlah dilema yang baru
saja dibicarakan. Ada tiga kunci pembangunan koalisi elektoral yang memerintah,
pengorganisasian peluang-peluang bagi oposisi politik dan penyediaan jaminan
‘memadai’ bagi elit ekonomi berpengaruh
- Alternatif Nasional Populis
- Alternatif Sosial Demokratis
- Alternatif Tengah Kanan
Akhirnya,
tingkat organisasional dan partisipasi elektoral kelas menengah yang relatif
tinggi dapat mengatasi jumlahnya yang terbatas dan meningkatkan potensi mereka untuk memasok
Pluralitas elektoral. Rancangan konstitusional yang memadai pada gilirannya,
dapat mengkonvensi pluralitas semaca itu ke dalam mayoritas legislatif yang
berkuasa. Dari perspektif pemerintahan
Tengah-Kanan, kelayakan hubungan-hubungannya dengan oposisi loyal (termasuk
komunis) akan tergantung tidak hanya pada jaminan resmi yang disediakan oleh
undang-undang dasar, namun juga pada kesediaan pemerintah untuk melakukan
‘konsultasi’ di belakang layar, dan mungkin juga pada upaya-upayanya untuk
memperjuangkan sampai batas-batas maksimum berbagai peluang ‘penetesan ke
bawah’ yang dimungkinkan di dalam parameter-parameter teknik-teknik dari
model-mmodel pembangunan internasional. Pemerintah Tengah- Kanan menemukan
bahwa demi kepentingan elektoral politik mereka untuk mencari jalan untuk
memperluas pihak penerima keuntungan model pembangunan internasionalis. Paling
tidak pemerintah-pemerintah yang kini secara terbuka menerapkan koersi dan
penyiksaan akan diganti oleh pemerintah-pemerintahh yang harus bersaing dalam
pemilihan umum massal dan menghormati kebebasan sipil. Bahkan bila mereka secara
eksplisit cenderung menguntungkan elit-elit kapitalis dan kelas menengah, pada
akhirnya, sistem konstitusional baru dapat (paling tidak dalam prinsip)
memperoleh daya institusional mandiri yang dapat secara perlahan-lahan
menyediakan peluang bagi bentuk-bentuk koalisi memerintah yang berbeda dan
lebih progresif.
BAB 5
Militer di Amerika Latin
Alain Rouquies
Survey
historis menyediakan hanya sedikit dukungan bagi penafsiran unilinear dan
sinkronik dari kekuasaan militer. Alih-alih sejarah tersebut menunjukkan bahwa
bentuk demiliterisasi adalah kompleks dan beragam, dan itu mungkin memiliki
keterbatasan sendiri. Penyurutan dan gelombang semacam itu mengundang kita
untuk mengkaji, tanpa asumsi-asumsi a priori dan generalisasi berlebihan,
realita-realita demiliterisasi dan, dengan begitu dampak riil demilitarisasi
negara.
Banyak
yang telah dilontarkan mengenai ketidakstabilan kekuasaan yang terkonsentrasi.
Secara institusional, rezim-rezim militer bahkan tatkala terlihat sebagai
bentuk dominasi paling lazim di dalam negara tetap merupakan kasus-kasus
“kekecualian”, betapapun paradoksal nampaknya itu. Demikianlah, ideologi resmi
dan dominan di sepanjang benua adalah liberal dan demokrasi. Transformasi yang
tak putus-putusnya dari rezim-rezim militer dan keterbatasan usia
pemerintah-pemerintah tersebut seperti yang dirasakan para aktor yang terlibat
di dalamnya.
Bahkan, bila kita membuat sebuah
pembedaan yang relative sepihak antara pemerintahan sementara dan rezim militer
terpilih, tak satupun dari kedua kasus berdasarkan pengalaman sejarahnya
dilandaskan pada niat yang dinyatakan secara eksplisit untuk menciptakan sebuah
corak negara baru, suatu mode penyelenggaraan kekuasaan politik yang definitive
dan tahan lama.
Demokrasi representative senantiasa
berada dalam cakrawala pandang rezim-rezim ini. Mereka harus mempercayainya
bagi keabsahan mereka sendiri dan menempatkannya dalam tujuan-tujuan kebijakan
mereka, seraya pada saat yang sama menawarkan untuk memperbaiki, memperkokoh,
dan bahkan melindunginya, namun tak akan pernah menghancurkannya sebagaimana
berlangsung di negara-negara lain. Itu misalnya berlaku pada sistema Brazil,
yang telah senantiasa mempertahankan (di bawah pengawasan berhati-hati)
kehadiran partai-partai, pemilihan umum, dan majelis legislatif atau
militerisme arkaik Stroessner, yang, seperti semua diktator klasik di benua
tersebut, telah secara teratur terpilih kembali pada kursi kepresidenan, dan
mentoleransi di (di bawah pengamatan ketat) sistem multi partai yang dekoratif.
Analisa pengunduran diri angakatan
bersenjata dari kekuasaan mengungkapkan gejala yang beragam. Sipilisasi negara
militer, betapapun ekstensifnya, tidaklah sama dengan kembali ke “normalitas demokratis”. Untuk tujuan kesejahteraan
komparatif, saya akan hanya mengkaji transformasi sistem-sistem yang sangat
didominasi militer yakni, rezim-rezim yang diprakarsai oleh kekuatan-kekuatan
di mana kedaulatan institusi militer dijalankan secara kolektif dan
mengendalikan tidak hanya pemilihan eksekutif melainkan juga semua pembuatan
keputusan kebijakan utama.
Transfer kekuasaan kepada seorang
pemimpin militer yang secara personal mendominasi hierarki yang dimapankan
merupakan satu cara mensubordinasikan institusi-institusi angkatan bersenjata
di bawah eksekutif dan kembalinya militer ke tugas-tugas professional mereka.
Transisi dari kekuasaan institusi yang impersonal ke kekuasaan personal
seseorang, bahkan seorang jendral, tak pernah berlangsung mudah. Semakin kurang
birokratis institusi militer dengan sendirinya akan menjadikan personalisasi
kekuasaan ini semakin mudah berlangsung.
Umumnya, apa yang disebut
institusionalisasi rezim militer adalah legalisasinya di dalam kerangka
konstitusional. Transformasi ini, yang memiliki sejumlah kesamaan ciri dengan
langkah kembali ke demokrasi dan yang mungkin dikaitkan dengan liberalisasi
praktik politik, mengakibatkan kekuasaan politik militer terwadahi secara murni
dan sederhana dalam kerangka institusional yang dinilai absah. Militer kemudian
menggunakan kerangka tersebut untuk membersihkan sumber-sumber utama
ketidakpastian yang bersifat inheren dalam proses demokrasi. Proses ini dapat
membawa sebagaimana, misalnya, di Guatemala pada pemerintahan militer yang
sekaligus dipilih, konstitusional, dan anti-demokrasi. Legalitas ini umumnya
berlangsung mengikuti dua modalitas: sistem multipartai yang terkontrol atau
koersif atau penciptaan partai militer dominan.
Pemerintah
Sipil dan Kekuasaan Militer
Kemunduran berkedok dari pemerintah
oleh angkatan darat Argentina tak dengan sendirinya membawa kita pada
kesimpulan bahwa negara-negara yang pernah mengenal kekuasaan militer dalam
perode kontemporernya ditakdirkan untuk mengulang pengalaman itu. Dengan
setengah abad sejarah dominasi militernya, Argentina tanpa diragukan adalah kasus
ekstrim politik yang dimiliterisasi. Bagaimanapun, siapa yang akan membantah
bahwa kembalinya militer ke barak-barak tidak pernah definitive, dan negara
paska-militer, apapun derajat demokrasinya, berlanjut untuk hidup di bawah
bayang-bayang barak? Kenyataan ini mengkondisikan perilaku aktor-aktor sipil.
Menunda intervensi militer adalah menegaskan kekuasaan sipil dan menjadikan
pemberontakan militer semakin sulit, dan dengan demikian berfungsi untuk
mendemiliterisasi sistem politik. Di pihak lain, ancaman atau ketakutan
permanennya adalah bentuk riil intervensi, seperti dibuktikan belum lama ini di
Spanyol. Sejak kematian Franco, sindiran mengenai “toleransi” militer berlanjut
mengisi kehidupan politik, sementara momok kuda Pavia terus mengahantui Parlemen.
Dengan demkian demiliterisasi
memiliki derajat tersendiri. Kembalinya kalangan sipil ke kekuasaan tidak
dengan sendirinya setara dengan “sipilisasi” kekuasaan, bahkan setelah
dilangsungkannya pemilihan bebas dan representative. Kita mungkin bisa bertanya
mengapa, di bawah pengaruh apa, dan dalam kondisi apa, dan dalam kondisi apa
militer akan menyerahkan jabatan bagi sipil, namun kita juga bisa bertanya apa
yang menjelaskan keterbatasan proses “pembersihan” militer dari politik. Kita
akan pertama-tama mempertimbangkan alasan-alasan bagi pembukaan formal sistem
yang didominasi militer, dan kemudian penyebab-penyebab kebangkitan
militerisme.
Lebih umum lagi, adalah pantas bagi
rezim militer untuk mendemiliterisasi dan melegalisasi dirinya baik karena
alasan ideologi global yang telah saya singgung sebelumnya maupun karena
hakekat spesifik apparatus militer dalam hubungannya dengan kekuasaan. Tak
hanya ketegangan-ketegangan internal yang ditumbulkan tugas-tugas
kepemerintahan memperlemah kohesi korporatif dan dengan demikian kapasitas
defensive yang menyediakan landasan bagi keabsahan (sementara) perebutan
kekuasaan oleh militer, namun juga itu mengurangi sumber daya politik
institusi.
Dalam ketiadaan konsesus minimal,
apalagi program koheren dalam angkatan bersenjata, demiliterisasi formal oleh
rute demokratis Nampak sebagai tak mungkin dihindari. Namun dalam rangka
menjadikan pengunduran diri minimal mengenai netralitas, bila politisasi
militer tak akan mengarah pada jeram kudeta dan kontra-kudeta bergaya Bolivia.
Tambahan lagi, mengingat ketidakpastian militer tidaklah tak berkaitan dengan
konflik sipil, hasil semacam itu hanya dimungkinkan bila mayoritas kekuatan
politik menerima kebutuhan demiliterisasi dan bila militertak memiliki niat
langsung membelas dendan terhadap para sipil yang kembali.
Terdapat banyak kendala bagi
pengunduran diri militer dari panggung politik yakni, dari komando atas
pemerintahan yang memperlambat kembalinya kalangan sipil yang dipilih terutama
dari logika yang bersifat internal pada korporasi militer. Tingkat kekerasan
pemerintah juga merupakan variabel menentukan lainnya. Sebuah rezim militer
yang tidak bagitu represif memiliki kebebasan maneuver yang jauh lebih besar.
Sebuah pemerintahan teoris, sebaliknya, memiliki resiko pada akhirnya harus
bertanggung jawab pada masyarakat. Adalah berkaitan dengan persoalan ini pada
khususnya, strategi0strategi sipil turut bermain. Ruang maneuver mereka
terbatas. Upaya kompromi dan kesediaan untuk menerima “hukum kebisuan” yang dipaksakan
militer dapat memungkinkan kekuatan-kekuatan politik dan pendukung demokrasi
mencapai sebuah kemajuan.
Tanpa diragukan, adalah lebih mudah
untuk mendemiliterisasi pemerintah daripada pusat kekuasaan. Banyak pembukaan
atau institusionalisasi legal merupakan sekedar pengunduran diri taktis yang
akan memungkinkan intervensi lebih jauh bagitu aparatus militer telah membentuk
kembali sumber-sumber daya politik mereka. Bila tidak begitu, pengunduran diri
mungkin hanya merupakan persoalan penjaminan basis yuridis bagi keberlanjutan
sistem yang didirikan melalui kekerasan. Liberalisasi rezim-rezim militer
seringkali memberi kesan sekedar muslihat, sebuah bentuk ikut-arus dalam rangka
menyelamatkan diri. Menggarisbawahi sifat keterpecahan kekuasaan dapat berfungsi
melucuti senjata oposisi.
Dalam kasus ini, karakter penuh
kehati-hatian rezim sipil di bawah pengawasan militer mengimplikasikan
pertama-tama mengkonstruksikan demokrasi sebelum mengubah masyarakat. itu
berarti membatasai taruhan dalam rangka memungkinkan kesepakatan politik
mengenai ketidakterlibatan militer untuk mengatasi konflik-konflik politik
berikutnya. Dari sini, beberapa tahap dapat dibayangkan tanpa memastikan
urut-urutannnya. Salah satunya terdiri dari mendemokratisasikan institusi-institusi
dan terutama apparatus negara (angkatan bersenjata, polisi, lembaga peradilan),
dan yang lainnya, kontradiktif dengan yang pertama, mencakup penciptaan, dalam
iklim yang kurang dramatis, kondisi peralihan yang merupakan ekspresi
sesungguhnya dari pluralisme riil, dan yang dengan demikian merupakan, tanpa
kekerasan sama sekali, “keterputusan demokratis” sesungguhnya. Jalan panjang
dan tak pasti menuju demokrasi ini memiliki taruhan: kita harus menerima
permainan yang diajukan oleh mereka yang berada dalam tampuk kekuasaan, dalam
rangka mengalahkan mereka dalam permainan mereka sendiri. Agar hal ini terjadi,
akan membantu bila segenap kelas politik dan mayoritas sektor sosial
berpartisipasi dalam memperjuangkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur demokratis,
dan menerima ketidakpastian poll, dan bila kekuatan-kekuatan sosial dan politik
sipil dapat mengucapkan selamat-tinggal definitive pada angakatan bersenjata
sebelum saudara militer mereka melakukannya.
BAB 6
Pengusaha dan Proses Transisi: Kasus
Brazil
Fernando H. Cardoso
Borjuasi
Brazil telah memainkan peran yang menentukan dalam mengelaborasi
kebijakan-kebijakan yang mendukung demokratisasi. Sebelum 1964 sektor swasta
terombang-ambing antara mengkonsolidasikan aliaansinya dengan massa dan menjadi
bagian dari negara feodal. Sejumlah peneliti, terutama Luciano Martins, telah
mengkaji objek ini secara sangat terperinci dan menempatkan serangkaian harapan
yang melegakan mengenai peran progresif kalangan yang biasa disebut borjuasi
nasional dalam perspektif yang lebih memadai.
Namun
demikian, pembaruan aktivitas politik partai dan kebangkitan kelompok-kelompok
penekan dan kelas-kelas sosial menuntut pendekatan-pendekatan baru untuk
menjaga kita tidak dengan serta-merta berpilir bahwa kita sedang menyaksikan
kebangkitan kembali borjuasi nasional sebagaimana dipercaya teori-teori
populis-nasionalis atau bahwa kita sedang kembali ke demokrasi dalam corak yang
berlangsung sesudah perang Dunia II, ketika sistem berubah dari periode Vargas
menuju periode Konstitusi 1946.
Pada
saat yang sama tatkala menjadi semakin kentara bagi publik umum bahwa
kelompok-kelompok pengusaha membentuk, mendukung kebijakan-kebijakan
liberalisasi, dan pembaruan keseimbangan distribusi tanggung jawab di antara
sektor-sektor publik dan swasta ekonomi, para ilmuwan sosial mulai mengkoreksi
distorsi-distorsi yang disebabkan cara pandang yang menegaskan kesubordinatan
peran komunitas bisnis dalam aktivitas sosial dan politik.
Jelas
bahwa di puncak periode birokratik-otoritarian kaum industrialis mencoba
mendesakkan pengaruh korporat ketimbang politik terhadap negara. Tentu saja
otoritarianisme tidaklah mengeliminir permainan kepentingan dan aktivitas
politik pengusaha, bahkan tatkala keseluruhan kebijakan didasarkan pada tatanan
perusahaan negara-perusahaan multinasional. Dari sudut pandang interpretatif,
nampaknya terdapat kesepakatan baik mengenai kapan industrialis muncul dalam
politik dan mengenai tujuan-tujuan politik dan ekonomi yang mereka tentukan
sendiri. Pertimbangan sintetis terbaik dari objek ini adalah karya Carlos
Lessa.
Lessa
berpendapat, dengan rangkaian perubahan ini, adalah mudah untuk menarik analisa
mekanik yang mengindikasikan koinsidensi sikap menentang para pengusaha dengan
titik di mana kepentingan-kepentingan objektif mereka berbeda dengan
kebijakan-kebijakan yang diajukan. Untuk menghindari analisa ekonomi yang
sepenuhnya mekanis, namun tanpa terjebak ke ekstrim lainnya (penafsiran
subjektif pada tingkat yang murni politik), Lessa mengajukan penafsiran yang
lebih canggih: sejak 1975 sektor swasta mendapati bahwa negara merupakan sebuah
gurita raksasa, terutama tatkala mereka menyadari bahwa PND II telah memicu
sebuah proses yang tak dapat dibalikkan menuju penempatan ekonomi di bawah
kendali negara. Dengan demikian, kampanye antinasionalisasi dan dukungan bagi
ekonomi pasar bebas harus dipahami tidak terutama bagi makna literalnya sebagai
pembelaan kepentingan ekonomi yang terhambat, namun lebih sebagai kode
(serangkaian prinsip), semacam diskursus politik yang tujuannya adalah untuk
menjadikan pembukaan dalam sistem negara otoriter
Bila kita terima argumen Lessa, dengan
demikian, kita menyaksikan, sebuah komunitas bisnis yang menuntut kebebasan.
Dalam hal ini, penafsiran Lessa mengenai diskursus kepengusahaan nampaknya benar.
Lessa tidak memandang antusiasime komunitas bisnis terhadap demokrasi terwujud
secara independen dari kepentingan mereka. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa
pemerintahan Giesel sesungguhnya telah mencanangkan keberlanjutan keajaiban
ekonomi melalui sarana-sarana pola baru akumulasi yang akan didasarkan pada
tuntutan yang terus bertumbuh terhadap barang-barang kapital dan memasukan
dasar (basic inputs).
Presiden
ABDIB (Asosiasi Industri Dasar Brazil) secara resmi menerima tantangan PND II
di akhir 1974, namun asosiasi tersebut menuntut:
- Pembiayaan khusus (BNDE, Bank Pembangunan Ekonomi Nasional, menetapkan bunga 40 persen per tahun);
- Kebijakan harga yang akan memungkinkan penyerapan ongkos buruh, yang tumbuh lebih cepat daripada tingkat yang ditetapkan arbitrasi kolektif;
- Kontrol kompetitor, dengan memperkenalkan pembatasan masuknya produsen-produsen baru.
Inisiatif
swasta dan tindakan negara (intervensi langsung dalam pasar melalui pembelian
produk-produk lokal oleh perusahaan-perusahaan negara dan kendali investasi
oleh Dewan Pembangunan Industri [CDI]) nampak sama-sama diperlukan. Bagi banyak
industrialis, upaya untuk meyatukan kepentingan pembangunan ekonomi tertanam
dalam penataan perusahaan multinasional-negara). Pihak swasta menganggap
meningkatnya peran perusahaan-perusahaan negara dalam dinamika pembangunan dan
perluasan wilayah ekonomi yang diatur negara sebagai ancaman dikarenakan
mengekang gerak mereka membuat sejumlah pengusaha mengekspresikan sikap kritis
mereka.
Dengan
latar belakang tersebut, swasta menemukan demkrasi dan sejumlah industrialis
bahkan berpendapat bahwa langkah-langkah Giesel akan memiliki efek bersifat
prasangka pada pabrik-pabrik yag telah ada, sebagaimana juga mengabaikan
hak-hak yang dimiliki dan dijamin konstitusi. Demikianlah, kebijakan
industrialis pemerintah, yang mengikuti apa yang digariskan Guillermo O’Donnell
dalam karya-karya mengenai “negara otoriter-birokratik” sebagai pendalaman
ekonomi, mengguncang landasan dari sistem aliansi yang memelihara rezim militer
otoriter.
Dalam
deklarasi publik 1978, para pengusaha yang terpilih pada Forum Gazetta Mercantil 1977 ingin
mengekspresikan pandangan mengenai jalan pembangunan ekonomi, dan yang
didasarkan pada keadilan sosial dan diperjuangkan oleh instansi politik demokratis
yang diyakini pada dasarnya adalah harapan umum masyrakat Brazil. Sejalan
dengan penekanan pemerintah, mereka mengulangi kembali kepercayaan mereka bahwa
pembangunan industrial harus didasarkan pada industri berat; mereka menuntut
perimbangan yang lebih baik dalam sistem tripartit pembangunan; mereka mengecam
sistem finansial dan pertumbuhan hutang luar negeri, menuntut kebijakan yang
tepat mengenai teknologi, mengharapkan pengaturan modal asing, menjadi baoak
angkat bisnis menengah dan kecil, dan seteusnya.
Dalam
diskursus umum, sektor swasta menganut teori-teori oposisi mengenai kebijakan
penghasilan berkeadilan, kebebasan serikat pekerja, modernisasi organisasi
serikat pekerja, majikan, dan karyawan; mereka mengimbau negara untuk mengatasi
kekurangan memprihatinkan dalam sarana kesehatan, perumahan, pendidikan,
transportasi publik kota dan perlindungan lingkungan; mereka menuntut
pengkajian ulang sistem pajak yang akan menjadikan pajak penghasilan tidak
berat sebelah bagi penduduk secara individual, pemajakan penghasilan
berdasarkan skala menurun, mereka mengkritik ketidakmerataan regional, dan
sebagainya.
Nada
deklarasi pengusaha saat itu bertentangan dengan otoritarianisme. Dua tahun
kemudian, para pengusaha yang terpilih pada forum mulai mengekspresikan diri
secara berbeda. Objek kritik mereka sekarang adalah kebijakan enerji,
bersama-sama dengan pembangunan pertanian dan pengeluaran sosial yang
membengkak. Tuntutan-tuntutan awal terhadap kondisi sosial yang lebih baik,
kemandirian bagi serikat pekerja, dan kebebasan publik tetap didukung.
Rangkaian
perubahan ini, yang berkisar dari kritik abstrak ke dukungan konkrit, dari
ketidaksukaan pada negara ke permohonan definisi dari negara, dari diskursus
oposisionis ke posisi mendukung program liberalisasi Joao Figueirdo tidak
menarik perhatian para pemimpin industrial. Pada 1981, para pimpinan komunitas
bisnis mengeluarkan deklarasi lain. Kali ini kepedulian ekonomi utama mereka
adalah hutang luar negeri, tingkat bunga yang tinggi, kontrol kredit, kebijakan
pertanian, penurunan belanja publik; secara singkat, iklim resesi.
Suara
kaum industrialis memberikan dukungan kepada swasta. Bila komunitas bisnis
tidak mengambil inisiatif, mereka menambah gerakan masyarakat sipil; pers
sendiri memanfaatkan kepemimpinan sektor swasta untuk meningkatkan keriuhan isu
liberalisasi. Bahkan, para pimpinan industrial yang lebih aktif dan vokal telah
bergerak untuk mendukung liberalisasi.
Seusai
liberalisasi, nampaknya para pengusaha nampaknya lebih terpikat oleh liberalisasi
demokratis dalam cara yang sama dengan yang pernah dirasakan sektor-sektor
sosial lain. Tekanan bagi ekonomi kelompok-kelompok sosial dan pemutusan ikatan
negara didorong oleh gereja, yang secara terbuka didukung oleh kaum
intelektual, dan diadopsi sebagai kebiakan oleh serikat-serikat pekerja. Para
pengusaha di pihak lain tampil dengan dukungan untuk memutuskan ikatan korporat
antara negara dan masyarakat.
Begitu
pemerintah Figueiredo mulai meracang waktu dan tempat di mana proses
liberalisasi akan berlangsung, para industrialis mulai memilik peran penjamin
tujuan-tujuan presiden. Perdebatan panjang di kalangan pimpinan kelompok
pengusaha pro-demokratis, yang diangkat pers, menunjukkan banyak kebingungan
mengenai partisipasi politik partai versus perlindungan keindependenan
pengusaha, ekonomi perusahaan versus ekonomi negara, demokrasi klasik versus
demokrasi massa, kemampuan serikat pekerja untuk memberi tekanan pada negara
versus integrasi korporat mereka dalam negara, dan sebagainya.
Namun,
tanpa partisipasi bisnis, eksperimen transformasi pencerahan otoritarian akan
sulit dilaksanakan, seperti sebelum 1964 dan 1968 dikarenakan sektor garis
keras militer membutuhkan dukungan bisnis bagi upaya mereka menolak setiap
bentuk liberalisasi akibat kekhawatiran bahwa proses politik dapat menjadi tak
terkendali. Dalam tahap transisi menuju demokrasi ini posisi komunitas bisnis
dalam mendukung liberalisasi tanpa diragukan merupakan faktor menguntungkan.
BAB 7
Kebijakan Ekonomi dan Prospek
Transisi dari Pemerintahan Otoriter di Amerika Latin
John Sheahan
Setelah
Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya melepaskan diri dari rezim-rezim
represig yang dibangun pada 1960an dan 1970-an, mereka memiliki peluang untuk
mengkonsolidasikan kebebasan politik tergantung pada kualitas
kebijakan-kebijakan ekonomi. Ada dua kemungkinan, yakni akan diangkat atau
diahancurkan. Bila mereka ingin berhasil, kebijakan-kebijakan tersebut harus
memenuhi dua syarat yang saling menarik ke arah berlawanan. Yang pertama adalah
terdapat kebutuhan konsisten terkait ekonomi yang layak, yang dapat berfungsi
tanpa krisis konstan dan dapat mencapai sejumlah pertumbuhan ekonomi. Yang
kedua adalah kemampuan untuk secara memadai menjawab harapan-harapan berbagai
kelompok sadar politik dalam masyarakat untuk mendapatkan dan mempertahankan
perolehan mereka.
Terdapat
berbagai kendala ekonomi untuk keluar dari sistem otoriter, tergantung pada
sejarah dan struktur ekonomi masing-masing negara. Faktor lainnya adalah
persekutuan-persekutuan kekuatan dalam masyarakat, dan corak perubahan yang
pernah diuapayakan. Hal tersebut juga bergantung pada kondisi kondisi ekonomi
dan politik dunia.
Konflik
terkait kebijakan upah bisa menjadi hal yang sangat krusial bagi peluang
keberhasilan pemerintah non-otoriter. Kebanyakan negara Amerika Latin memiliki
tingkat setenagh-pengangguran yang tinggi, dan sebagian lainnya memiliki
tingkat pengangguran terbuka yang tinggi, sehingga bila kekuatan pasar
dibiarkan beroperasi sebebasnya, maka para penerima upah dapat tertinggal jauh
dan peningkatan penghasilan nasional pun ikut terkena dampaknya.
Pemerintah
demokratis harus memberi prioritas tinggi pada penciptaan lapangan kerja dan
pengurangan kemiskinan daripada yang sudah dilakukan rezim-rezim militer
Amerika Selatan, bila mereka ingin diterima secara luas oleh publik. Sebagian
persoalan kemiskinan adalah tentang upah rendah, namun lebih erat kaitannya
dengan ketiadaan lapangan kerja tetap dan pekerjaan-pekerjaan berproduktivitas
rendah di sektor desa.
Pertumbuhan
yang berlanjut akan menciptakan lebih banyak pekerjaan bila biaya penggunaan
buruh tidak meningkat secara relatif pada biaya penggunaan buruh tidak
meningkat secara relatif pada biaya peralatan kapital, energi, dan masukan lain
bagi produksi. Stabilitas upah lebih bsar akan mendorong pertumbuhan lapangan
kerja produksi ekspor industrial, banyak penggunaan teknologi padat-karya, dan
perubahan dalam struktur produksi ke arah produksi dengan rasio buruh yang
relatif lebih besar terhadap masukan kapital.
Pemerintah
demokratis akan lebih mungkin bertujuan meningkatkan permintaan dan penghasilan
daripada rezim-rezim militer Argentina dan Chile, dan tujuan tersebut akan
menyediakan ruang bagi peningkatan upah riil dan lapangan pekerjaan secara
serentak. Tingkat peningkatan upah aktual yang dimungkinkan dengan norma
semacam itu bergantung pada faktor-faktor yang sebagian berada di luar kendali
nasional. Norma upah yang menyamakan tingkat kecenderungan upah riil dengan
pertumbuhan output per kapita akan berarti bahwa kenaikan upah riil datang dari
peningkatan output dan bukan dari surplus impor ataupun penurunan keuntungan.
Himbauan-himbauan
bagi kesepakatan sosial mengenai norma upah telah dicoba di Amerika Latin dan
telah secara konsisten gagal dijalankan untuk jangka waktu cukup lama. Keadaan
khusus penyelamatan diri dari represi politik drastis di masa lalu mungkin
membantu menciptakan konsensus yang lebih kokoh mengenai kebutuhan akan
pertumbuhan yang dibagi bersama, sebagai pertentangan dengan strategi
antagonistik yang menciptakan begitu banyak kondisi eksploitatif di masa lalu.
Diskusi
Albert Fishlow pada konferensi Wilson Center mengenai Transitions from Authoritarian Rule menunjukkan secara kuat
kebutuhan orientasi ekspor barang-barang manufaktur, namun berbagai komentar
bertentangan terlontar terhadap banyak aspek diskusi konferensi. Isu-isu yang
terlibat dalam berbagai pandangan bertentangan ini dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok: (1) biaya dan perolehan dari penekanan terhadap ekspor industrial; (2)
proteksi dari impor; dan (3) investasi asing. Pembagian ini menekankan pada
persoalan-persoalan ekonomi spesifik ketimbang konsep umum integrasi dengan
ekonomi dunia, dalam kepercayaan bahwa sejumlah bentuk integrasi mungkin
membantu pada saat yang sama sejumlah bentuk lainnya perlu dihindari atau dibatasi
secara ketat.
Perolehan
ekonomi yang mungkin dari orientasi ekspor adalah bahwa sektor industrial akan
memberi sumbangan lebih besar daripada waktu-waktu sebelumnya bagi pertumbuhan
dan lapangan pekerjaan. Kritik terhadap orientasi ke arah ekspor industrial
semacam itu mencakup argumentasi bahwa itu tak dapat begitu saja berhasil
berhadapan dengan proteksionisme negara-negara industri maju karena hal itu
akan mendorong penekanan upah untuk menjaga harga ekspor tetap rendah. Hal
tersebut mensyaratkan metode-metode produksi padat-modal karena hal itu
mengkonsentrasikan penghasilan dalam sejumlah kecil perusahaan besar atau pada
uumnya itu adalah sekedar penjadian objek ekonomi domestik pada kapitalisme
dunia.
Isu
proteksi dari impor juga melibatkan pertanyaan-pertanyaan serupa mengenai
preferensi sosial dan konsistensi. Pemerintah demokratis yang menaruh perhatian
pada dukungan rakyat dengan sendirinya akan berada di bawah tekanan sektor
bisnis untuk memulihkan proteksi yang tinggi. Liberalisasi impor bagi produksi
secara umum dibutuhkan untuk efisiensi dan potensi ekspor selama biaya dalam
devisa yang dibiarkan tetap tinggi relatif pada harga-harga domestik, namun
liberalisasi barang-barang konsumen modern merangsang pola konsumsi yang
terbuka hanya pada minoritas kecil pada tingkat penghasilan dewasa ini.
Bila
kita mempertimbangkan persoalan investasi asing langsung, akan tampak sebagai
penolakan diri yang tidak perlu untuk menolak perusahaan asing secara
keseluruhan, namun juga terdapat resiko besar untuk memberi ruang luas untuk
mendorong mereka. Perusahaan-perusahaan tertentu yang dapat menawarkan
keuntungan-keuntungan semacam itu mungkin bisa membantu kinerja ekonomi
nasional dan memperkokoh rezim demokratis. Rezim demokratis akan lebih aman
dalam hal ketegangan politik domestik dan memiliki kemungkinan pertumbuhan
lebih baik. Bila investasi asing diterima hanya untuk tujuan-tujuan tertentu
yang dibatasi secara memadai.
Rezim-rezim
otoriter di Argentina, Brazil, Chile, dan Uruguay menyatakan secara eksplisit
orientasi mereka pada pemanfaatan kekuatan pasar untuk menuntun produksi dan
investasi. Mereka sebagian melakukan praktik-praktik bertentangan dengan
orientasi ini dengan menerapkan kontrol upah dan Brazil juga menerapkan
proteksi dan subsidi secara cukup luas, namun mereka jelas-jelas cenderung
mengandalkan pasar swasta ketimbang rezim-rezim praotoritarian di negara-negara
ini.
Untuk
senantiasa berhati lapang dengan apapun yang kita lakukan, termasuk mengenai
corak rezim ekonomi, adalah sikap yang sangat menentramkan. Kebijakan ekonomi
khas rezim-rezim otoriter mencakup empat komponen yang secara potensial
terpisah: (1) pengurangan pengendalian harga, proteksi lebih rendah,
reorientasi praktik-praktik perusahaan ke arah akumulasi surplus untuk investasi,
dan upaya untuk menjaga tingkat bunga positif dalam nilai riil; (2) upaya
serius untuk membatasi defisit anggaran dan pertumbuhan persediaan uang,
perpajakan lebih efektif, dan perubahan-perubahan dalam pola-pola pengeluaran
publik ke arah dukungan lebih besar bagi militer dan bagi investor dengan biaya
penurunan program-program sosial; (3) pengendalian upah dan pembatasan ketat
tindakan mandiri serikat pekerja; (4) kondisi-kondisi yang sangat menguntungkan
bagi investor asing dan jaminan perlindungan bagi para pemilik dari tindakan
politik yang bertentangan dengan kepentingan mereka.
Kategori
pertama mendekati yang secara lazim disebut para ekonom sebagai pengandalan
kekuatan-kekuatan pasar, atau paling tidak penurunan derajat upaya pengaturan
pasar. Kategori kedua melibatkan isu-isu keseimbagan makroekonomi. Kategori
ketiga, pengendalian upah dan penekanan serikat pekerja, melibatkan peningkatan
kontrol negara ketimbang pengandalan pada pasar. Kategori keempat, penerimaan
sepenuhnya atas investor asing dan jaminan politik bagi para pemili, mungkin
adalah yang paling erat berkaitan dengan sistem otoriter.
Bagi
investor domestik, bilam masyarakat menginginkan mereka sejumlah jaminan
perlindungan terhadap tindakan politik yang mungkin akan merebut kepemilikan
mereka tanpa kompensasi. Hal yang mudah untuk menjadi pesimis mengenai peluang
keberhasilan pemerintah non-otoritarian di Amerika Latin, baik untuk alasan
yang dipertimbangkan di sini ataupun untuk alasan lebih umum yang berkaitan
dengan ketegangan dari peningkatan kesadaran politik dalam masyarakat yang
sangat tidak egaliter. Terdapat kekuatan-kekuatan sistematis yang bekerja
bertentangan dengan keselamatan masayrakat terbuka di negeri ini:
kekuatan-kekuatan tersebut mungkin akan menjadi semakin bertenaga bila
cara-cara baru tak ditemukan untuk menghadangnya.
0 komentar: